Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Setelah Sawit Bukan Tanaman Hutan, Apa Langkah Selanjutnya?

Kompas.com - 14/02/2023, 10:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONTROVERSI sawit sebagai tanaman hutan pertama kali dilontarkan Yanto Santosa, guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan di IPB University. Dia mengusulkan kelapa sawit masuk dalam katagori tanaman hutan seperti di negara jiran Malaysia yang lebih dahulu mengatagorikan sawit sebagai tanaman hutan.

Di era Hasjrul Harahap sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan (1988-1993), tanaman perkebunan yang masuk katagori tanaman kehutanan adalah karet dan hal itu berlaku hingga saat ini.

Ide Yanto Santosa didukung Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) yang dimotori Gulat Manurung dan kawan-kawan, dengan menerbitkan naskah akademik berjudul Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi pada Januari 2022. Salah satu alasan Yanto dan Apkasindo getol menyuarakan sawit sebagai tanaman adalah untuk mementahkan kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.

Dalam PP Nomor 24/2021 diatur antara lain tentang tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan tetapi tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Hal itu dinilai meresahkan bagi sebagian besar kalangan petani kelapa sawit Indonesia yang pada umumnya tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.

Baca juga: BBKSDA Musnahkan Lebih Kurang 500 Tanaman Sawit Ilegal

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 7 Februari 2022, melalui Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto, merespon dengan cepat usulan naskah akademik tersebut dengan menegaskan bahwa sawit bukanlah tanaman hutan. Penolakan sawit sebagai tanaman hutan didasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik berlapis.

"Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto.

Pemerintah saat ini lebih fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, yang mengakibatkan masifnya ekspansi penanaman sawit di dalam kawasan hutan -sesuatu yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non-prosedural di dalam kawasan hutan itu telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial yang harus diselesaikan.

Karena hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan atau pun untuk kegiatan rehabilitasi. Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.

Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu, disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.

Kebijakan turunan dari Undang-Undanga (UU) Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Jenis tanaman pokok kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.

Dalam aturan itu diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib diserahkan lagi kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan produksi diatur bahwa diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di hutan lindung atau hutan konservasi hanya dibolehkan satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar, kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.

Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan.

UU Cipta Kerja juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah. Dengan begitu UU Cipta Kerja telah memosisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan.

Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com