Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Lebih Murah, Biaya Turunkan Presiden di Tengah Jalan?

Kompas.com - 28/12/2020, 14:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Walau aturan konstitusional amat jelas, namun kehendak atau bahkan gerakan untuk menurunkan presiden yang memegang jabatan selalu hidup dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Mengapa ada fenomena seperti ini?

Perlu kita simak pendapat, pengalaman, pengamatan dari Presiden RI ke-6 (2004-20014) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mari kita buka kembali bukunya yang berjudul SBY-SELALU ADA PILIHAN. Buku tebal ini ditulis 2014.

Buku ini sampai sekarang adalah satu-satunya hasil langsung tulisan presiden RI ketika masih menjabat, walau menjelang masa jabatannya berakhir di periode kedua. SBY adalah satu-satunya (sekurang-kurangnya sampai 2020 ) dari tujuh presiden RI yang menuliskan sendiri sejumlah catatan tentang pengalamnnya menjadi presiden.

Menurut SBY, dalam sejarah Indonesia, beberapa pergantian presiden berlangsung tidak normal dan tidak reguler. Misalnya Bung Karno diturunkan setelah sidang istimewa MPR. Lihat halaman 171 sampai 177.

Suharto, katanya, terpaksa mundur karena tidak ada dukungan di parlemen, atau bahkan tidak ada dukungan dari para pembantunya. BJ Habibie, ujarnya lagi, memilih tidak mencalonkan lagi jadi presiden karena pertanggungjawabannya di MPR ditolak. Sementara, kata SBY, Gus Dur diberhentikan oleh MPR karena dinyatakan melakukan tindakan tidak konstitusional.

"Praktik dan preseden politik seperti inilah yang barangkali menginspirasi banyak kalangan yang memiliki pemikiran untuk menurunkan atau menjatuhkan seorang presiden di tengah jalan," demikian pendapat SBY, lima tahun lalu.

Alasan lain mengapa beberapa pihak selalu ingin menurunkan presiden di tengah jalan, karena belum matangnya demokrasi dan etika politik di negeri ini.
"Sejumlah kelompok tampaknya tidak selalu sabar menunggu dan mempersiapkan diri untuk berkompetisi pada pemilihan umum berikutnya," tuturnya.

"Barangkali itu dianggap terlalu lama. Sudah menunggu lima tahun, belum tentu pula akan menang. Dipikirnya lebih murah jika bisa menjatuhkan yang sedang menjabat dan kemudian ada peluang baru."

"Memang sederhana jalan pemikiran pihak-pihak seperti itu. Sederhana, tapi salah. Tidak mendidik. Tetapi itu realitasnya, dan itu sungguh terjadi," begitu kata Presiden ke-6 yang bisa selamat dari realitas politik seperti itu.

Aksi kecil di masa Jokowi

Apakah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo masih hidup budaya atau keinginan spontan menurunkan kepala pemerintahan/negara di tengah jalan? Mungkin masih ada walau gerakan 'kecil'.

Atau mungkin masih ada rasa waswas atau kekhawatiran dalam diri penguasa atau pejabat tentang budaya mencegat presiden di tengah jalan dalam masa jabatannya. Saya mencatat beberapa kali suara lirih atau gerakan 'kecil' untuk menurunkan presiden di tengah jalan.

Hari Jumat, 14 September 2019 lalu, puluhan orang yang membawa spanduk di Jalan Merdeka Barat, tidak jauh dari depan Istana Merdeka, Jakarta, menyerukan turunya presiden dari jabatannya.

Salah seorang peserta aksi unjuk rasa mengatakan mereka dari kelompok mahasiswa perguruan tinggi di Provinsi Banten. Dia mengatakan nama kelompok mereka adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Para pengunjuk rasa ini melakukan aksi akrobat motor dan orasi-orasi diselinggi nyanyian-nyanyian dengan kalimat ini, "Turun, turun, turunkan Jokowi."

Dari orasi-orasi yang disampaikan silih berganti dari peserta unjuk rasa ini, terdengar alasan vokal mereka ingin menurunkan Jokowi di tengah jalan. Antara lain mereka ingin Jokowi turun, karena masalah impor bahan makanan dan melambungnya nilai dollar Amerika Serikat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com