Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Merawat Ingatan akan Peninggalan BJ Habibie

Kompas.com - 06/10/2019, 22:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIA adalah produk klasik dari 'Orde Baru' Soeharto. Dia telah menjadi menteri kabinet yang setia selama dua dekade dan seorang anak didik yang dipromosikan, dikagumi, dan dilindungi.

Meski demikian, sejak Mei 1998, untuk selama tujuh belas bulan yang intens, ketika Indonesia meringkuk di bawah gempuran Krisis Keuangan Asia dan gejolak politik, Bacharuddin Jusuf (atau BJ) Habibie sebagai Presiden yang baru saja dilantik, justru blak-blakan membongkar warisan otoriter mentornya.

Dewi Fortuna Anwar, salah satu penasihat utamanya menjelaskan:

“Pak Habibie bukan politisi. Dia adalah seorang insinyur - seorang ilmuwan. Dia merancang dan membangun berbagai hal. Dia juga membangun institusi. Dan sebagai Presiden saat itu, dia melihat bahwa tugasnya adalah untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis multi-dimensi. Dalam benaknya, Indonesia sudah terlalu lama hanya bergantung pada ekonomi. Perkembangan sosial dan politik telah berhenti. Ini harus berubah."

Dilahirkan pada tahun 1936 di pulau Sulawesi, Indonesia bagian timur, Habibie bisa saja menghabiskan hidup dengan tenang sebagai insinyur penerbangan yang sukses di negara Jerman yang dicintainya.

Hanya saja, Soeharto - yang saat itu menjadi sosok naik daun di militer - dikirim untuk menenangkan Makassar (dan Pemberontakan Andi Aziz) pada tahun 1950. Jenderal tersebut menerima sambutan hangat di rumah Habibie di Jalan Maricaya.

Keramahtamahan yang dikombinasikan dengan sejarah leluhur Jawa menjadi dasar persahabatan keluarga jangka panjang yang mendalam – maka setiap kali Soeharto bepergian ke Jerman pada tahun 70-an, ia sering bertemu dengan Habibie muda - pada saat itu seorang mahasiswa teknik yang ambisius dan berbakat.

Setelah lulus, Habibie mulai bekerja di pabrik aeronautika terkenal Jerman Messerschmidt-Bolkow-Blohm (selanjutnya bagian dari Airbus).

Namun, Pak Harto tidak melupakan pemuda yang dinamis dan pada tahun 1974 Habibie dipanggil kembali ke Indonesia untuk memimpin industrialisasi republik - memodernisasi banyak dari apa yang sekarang menjadi Badan Usaha Milik Negara (seperti PT Pindad, produsen pertahanan dan PT PAL) , pembuat kapal).

Disadari atau tidak, ia membentuk identitas bangsanya. Sebagai contoh, perannya di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sangat berperan dalam memerangi pengkaburan yang lazim terjadi dalam ajaran Islam. Kebangkitannya sangat spektakuler.

Pada 1978, Habibie bergabung dengan kabinet Soeharto sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Banyak yang meremehkan dan mengkritik (bukan tanpa alasan) misalnya pada kelebihan belanja sebagai bagian dari upayanya untuk mendorong Indonesia menjadi produsen pesawat terbang melalui IPTN (sekarang PT Dirgantara).

Ia juga menciptakan generasi insinyur. Sayangnya, dengan Krisis Keuangan Asia, sebagain besar kemampuan teknikal tersebut seakan punah- yang tersisa malah bekerja untuk perusahaan Embraer dari Brasil atau tempat lain.

Hubungan dengan keluarga Soeharto yang dulunya akrab, tidak pernah pulih akibat agenda reformasi selama masa kepempimpinannya. Memang, ketidahadiran keluarga tersebut selama pemakaman kenegaraan sangat mencolok.

Tentu saja, tugasnya selama tujuh belas bulan sebagai Presiden bagai angin puyuh. Habibie mengejutkan para kritikusnya ketika ia menjadi faktor 'Big Bang' politik.

Di antaranya, membebaskan tahanan politik, meredakan pembatasan pers, menangani keluhan turun-temurun dari etnis Tionghoa, mendirikan lembaga independen (termasuk Komisi Pemilihan Umum), mengkonfigurasi ulang badan-badan konstitusional utama seperti parlemen dan mendorong desentralisasi - pada akhirnya pada tahun 2014 mengantarkan Joko Widodo, mantan Wali Kota Solo sebagai Presiden.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com