Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seperti Apa Kebiri Kimia?

Kompas.com - 26/08/2019, 06:05 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Hukuman kebiri kimia kembali menjadi perbincangan setelah seorang pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur, bernama Muh Aris (20) mendapatkan hukuman kebiri kimia.

Hukuman kebiri kimia dijatuhkan terhadap Aris setelah ia dinyatakan terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 9 anak.

Selain hukuman kebiri kimia, Aris dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Hukuman kebiri kimia diakomodasi setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Baca juga: Pemerkosa 9 Anak Dapat Hukuman Kebiri Kimia dan Baru Pertama di Mojokerto

Perppu kebiri ditandatangani Presiden pada Mei 2016, dan disahkan DPR menjadi UU pada Oktober 2016.

Selain mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, perppu ini juga memuat ancaman hukuman mati bagi pelaku.

Seperti apa kebiri kimia?

Secara umum, ada dua teknik kebiri.

Pertama, kebiri fisik, dan kedua, kebiri kimiawi.

Kebiri fisik dilakukan dengan cara melakukan amputasi pada organ seks eksternal pemerkosa. Hal ini akan membuat yang bersangkutan berkurang hormon testosteronnya sehingga mengurangi dorongan seksial.

Sementara, kebiri kimia atau kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang.

Tujuannya, mengurangi produksi hormon testosteron. Efek akhirnya sama seperti kebiri fisik.

Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia Belum Ada Juknis, Kejati Jatim Tunggu Petunjuk Jaksa Agung

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Wimpie Pangkahila menyebutkan, kebiri kimia asalnya dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com mengutip Harian Kompas, 14 Mei 2016, melalui obat ini, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksual sehingga tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukannya.

Meski demikian, dorongan seksual ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron.

Ada faktor lain yang mendorongnya, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan, dan faktor psikologis soal fungsi seksual.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com