MUNGKIN salah satu pahlawan kita Muhammad Yamin terlalu berlebihan turut mempopulerkan penjajahan Belanda selama 350 tahun.
Namun, dalam penderitaan seperti itu rakyat Nusantara menunjukkan daya tahan dengan bersabar dan hidup apa adanya.
Para pendiri negeri ini sadar betul betapa lamanya Nusantara, Hindia Timur, atau Indonesia dijajah, baik oleh Belanda, Inggris, Perancis ataupun Jepang.
Rakyat tetap melanjutkan hidup, bersabar diri, dan menerima nasib cukup lama di hadapan cengkeraman mahligai penjajahan.
Betul, awalnya kekuatan monopoli perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mendominasi kepulauan ini tiga abad yang lalu.
Namun itu belum berupa pemerintahan kolonial yang komplet. VOC hanya urusan dagang yang menyangkut politik lokal. Kenyataannya, para elite politik pribumi, yaitu para raja, sultan, dan pangeran berkolusi dengan bangsa asing.
Angka 350 tahun tidak lah valid semata-mata penjajahan kolonial. Angka bisa salah, tetapi daya tahan kita menghadapi kehidupan susah menorehkan catatan tersendiri.
Faktanya, sistem monopoli perdagangan Belanda itulah yang memaksa para penguasa lokal untuk tunduk pada sistem jual beli produk lokal yang dibawa ke pasar Eropa.
Sebetulnya, dalam kenyataan politik baru awal abad dua puluh, Aceh betul-betul menyerah pada Belanda.
Begitu juga kesulatanan lain seperti Goa, Ternate, Bacan, Riau, dan beberapa daerah tidak termasuk jurisdiksi Belanda sebelum abad sembilan belas.
Hitung-hitungan Belanda tidak lebih dari dua ratus lima puluh tahun menjajah, tanpa Aceh. Dan kalau secara keseluruhan wilayah, termasuk Aceh, tidak lebih dari lima puluh tahun menjajah Nusantara tuntas.
Dalam suasana itu, perlawanan demi perlawanan terhadap penjajahan tidak efektif dengan kekuatan kedaerahan dan lokalitas masing-masing.
Baru menunjukkan hasil dengan sentuhan organisasi modern dan semangat patriotisme, persatuan, dan nasionalisme.
Jaringan intelegensia kaum terdidik lahir dari politik etis dan jaringan solidaritas negara-negara Asia dan Afrika menjadi penggerak. Maka, gerakan kaum terdidik Eropa dan Timur Tengah juga memainkan peranan di negara bawah angin ini.
Baru awal abad dua puluh dengan menjamurnya organisasi-organisasi etnis, nasionalis, keagamaan, dan kepanduan kita bisa mengungkapkan jati diri dan perlawanan.