Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Daya Tahan Masyarakat Nusantara

Kompas.com - 22/11/2023, 09:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNGKIN salah satu pahlawan kita Muhammad Yamin terlalu berlebihan turut mempopulerkan penjajahan Belanda selama 350 tahun.

Namun, dalam penderitaan seperti itu rakyat Nusantara menunjukkan daya tahan dengan bersabar dan hidup apa adanya.

Para pendiri negeri ini sadar betul betapa lamanya Nusantara, Hindia Timur, atau Indonesia dijajah, baik oleh Belanda, Inggris, Perancis ataupun Jepang.

Rakyat tetap melanjutkan hidup, bersabar diri, dan menerima nasib cukup lama di hadapan cengkeraman mahligai penjajahan.

Betul, awalnya kekuatan monopoli perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mendominasi kepulauan ini tiga abad yang lalu.

Namun itu belum berupa pemerintahan kolonial yang komplet. VOC hanya urusan dagang yang menyangkut politik lokal. Kenyataannya, para elite politik pribumi, yaitu para raja, sultan, dan pangeran berkolusi dengan bangsa asing.

Angka 350 tahun tidak lah valid semata-mata penjajahan kolonial. Angka bisa salah, tetapi daya tahan kita menghadapi kehidupan susah menorehkan catatan tersendiri.

Faktanya, sistem monopoli perdagangan Belanda itulah yang memaksa para penguasa lokal untuk tunduk pada sistem jual beli produk lokal yang dibawa ke pasar Eropa.

Sebetulnya, dalam kenyataan politik baru awal abad dua puluh, Aceh betul-betul menyerah pada Belanda.

Begitu juga kesulatanan lain seperti Goa, Ternate, Bacan, Riau, dan beberapa daerah tidak termasuk jurisdiksi Belanda sebelum abad sembilan belas.

Hitung-hitungan Belanda tidak lebih dari dua ratus lima puluh tahun menjajah, tanpa Aceh. Dan kalau secara keseluruhan wilayah, termasuk Aceh, tidak lebih dari lima puluh tahun menjajah Nusantara tuntas.

Dalam suasana itu, perlawanan demi perlawanan terhadap penjajahan tidak efektif dengan kekuatan kedaerahan dan lokalitas masing-masing.

Baru menunjukkan hasil dengan sentuhan organisasi modern dan semangat patriotisme, persatuan, dan nasionalisme.

Jaringan intelegensia kaum terdidik lahir dari politik etis dan jaringan solidaritas negara-negara Asia dan Afrika menjadi penggerak. Maka, gerakan kaum terdidik Eropa dan Timur Tengah juga memainkan peranan di negara bawah angin ini.

Baru awal abad dua puluh dengan menjamurnya organisasi-organisasi etnis, nasionalis, keagamaan, dan kepanduan kita bisa mengungkapkan jati diri dan perlawanan.

Pandangan-pandangan para pelopor kemerdekaan didistribusikan lewat media koran dan majalah. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato mereka menebar ke sebagian elite. Itu baru efektif.

Tidak efektifnya perlawanan terhadap penjajahan selama dua ratus tahun, atau lima puluh tahun, atau berapa lama penjajahan berganti-ganti merupakan catatan tersendiri. Kok ya tahan sekali kita menderita dijajah. Kok ya mau-maunya kita dijajah selama itu.

Walaupun jawabannya kompleks, dari segi budaya politik lokal, ekonomi kapitalisme klasik, kepatuhan massal, dan lain-lain, tetap saja kita akui itu catatan menarik.

Daya tahan masyarakat Nusantara selama dua ratus tahun diperintah bangsa asing butuh perhatian kita. Betapa kuatnya kita menderita, menerima nasib, dan tetap hidup dan bertahan apa adanya.

Daya tahan kita memang luar biasa, bisa jadi kita kagumi resiliensi bangsa sendiri. Kekuatan kolektif yang membuat bangsa ini bertahan hingga kini.

Begitu juga, daya tahan rakyat ini berkali-kali ditunjukkan setelah kemerdekaan, dan masih juga berulang-ulang.

Setelah merdeka memasuki era revolusi, daya tahan bangsa dan negara ini diuji dengan berbagai kesulitan ekonomi dan politik. Puncaknya, catatan kelam 1965 menguji kekuatan daya tahan kita.

Rakyat bertahan, tetap patuh pada pergantian pemerintahan dari era revolusi ke era pembangunan.

Tidaklah berakhir daya tahan kita diuji oleh waktu dan periode, tetap kita lalui. Pemerintahan Orde Baru bertahan selama tiga puluh tahun.

Bagaimana seni bertahan dalam ketaatan menguras kesabaran tanpa habis. Kekuatan untuk menerima dan tidak menunjukkan makar itu adalah seni bela diri tersendiri.

Baru pada akhir penghujung abad, reformasi bergerak pelan-pelan yang didorong oleh krisis politik dan ekonomi. Dalam krisis Rupiah di awal demokrasi multi-partai, kita pun bertahan dalam kesusahan.

Alam menguji terus mental dan daya tahan Nusantara. Gunung meletus, tsunami, gempa, pandemi global covid-19 dan kecelakaan-kecelakaan tak berhenti.

Bersedih dan berduka itu biasa, tetapi tidak pernah larut lama. Tidak ada tradisi berduka massal berkepanjangan, atau mundur dari keadaan, atau bunuh diri ramai-ramai.

Tidak, rakyat tidak pernah putus asa dari kehidupan dan memilih hidup terus walaupun apa adanya. Yang penting hidup berlanjut.

Sikap bijak dalam menerima apa adanya walaupun berat tercantum dalam banyak nasihat dan pepatah daerah.

Nrimo-nya orang Jawa, perjuangan orang Madura, kegigihan orang Minangkabau, daya tahan orang Dayak, petualangan orang Bugis, harmonisasi orang Bali, gembiranya orang Melayu, tarian orang-orang Papua, dan lain-lain. Itulah daya tahan yang dimiliki orang-orang Indonesia.

Gawe demokrasi kita jalani, rakyat negeri ini tetap menunjukkan mental dan kelihaiannya menyikapi berbagai manuver dan akibatnya.

Waktu akan melewati kita dengan pasti. Matahari tetap terbit dan tenggelam pada waktunya. Jam tetap berputar. Sejarah maju terus. Hidup sesuai guratan taqdirnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com