Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Hiroshima, Hersey, dan Media

Kompas.com - 08/08/2023, 14:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Doddy Salman*

Enam Agustus tujuh puluh delapan tahun lalu. Pagi di Hiroshima, Jepang. Tepat pukul delapan lewat 15 menit. Pancaran kilauan terang benderang muncul berpendar menyebar menyeruak kota.

Itulah kilauan Little Boy alias bocah kecil setelah dijatuhkan pesawat "Enola Gay" yang dikemudikan Brigadir Jenderal Paul Warfield Tibbets.

Bocah kecil seberat hampir 5 ton adalah bom uranium yang seketika mencabut nyawa 42.000 orang. Jumlahnya meningkat menjadi 100.000 orang.

Setahun kemudian setidaknya 280.000 warga Hiroshima diperkirakan menemui ajalnya. Jumlah yang pasti tidak pernah diketahui.

Tiga hari setelah Hiroshima, giliran penduduk Nagasaki yang menjadi korban bom Plutonium berjuluk Fat Man.

Bagaimana peristiwa dahsyat, yang menurut Harry S. Truman, setara dengan ledakan 20.000 ton bahan peledak itu, menyebar ke seantero jagat?

Saat itu belum ada internet apalagi media sosial. Kabar peristiwa mengandalkan laporan jurnalis yang disebar melalui media berita.

Media berita yang bercokol di Hiroshima adalah Chugoku Shimbun. Satu-satunya surat kabar yang ada di Hiroshima. Posisi kantornya hanya 900 meter dari episentrum ledakan.

Ketika bom atom meletus, kantor Chugoku Shimbun terbakar dan menewaskan 114 karyawannya.

Berita pertama ledakan bom atom Hiroshima terjadi sekitar pukul 6 sore, melalui siaran radio.

Pemerintah Jepang melalui otoritas militer menyembunyikan kengerian yang terjadi dengan mengontrol ketat wartawan. Tujuannya menjaga moral warga Jepang lainnya.

Wartawan tidak dapat melaporkan pandangan mata. Wartawan Chugoku Shimbun mengakali aturan tersebut dengan membuat laporan lisan kondisi korban, proses kedaruratan dan berbagai situasi lainnya.

Foto pertama holocaust bom atom adalah karya wartawan Chugoku Shimbun, Yoshito Matsushige. Ia mengambil gambar situasi di jembatan Miyuki tiga jam setelah ledakan terjadi.

Foto tersebut tidak dapat diproses karena kantor redaksi terbakar. Foto jembatan Miyuki akhirnya terbit di surat kabar Yukan Hiroshima pada 6 Juli 1946.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com