Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Catatan Psikologi tentang Buddha

Kompas.com - 07/06/2023, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UMAT Buddha di Indonesia, 4 Juni 2023 kemarin, baru saja merayakan Hari Suci Waisak. Pada Hari Suci Waisak, umat Buddha merayakan tiga hal penting, yaitu kelahiran sang Buddha, peristiwa Pangeran Sidharta mencapai pencerahan dan menjadi Buddha, serta meninggalnya sang Buddha.

Ajaran Buddha telah tersebar kurang lebih sejak 500 tahun sebelum masehi. Ajaran-ajaran Budhha menyebar ke berbagai pelosok penjuru dunia; diturunkan dari generasi ke generasi, tidak hanya sebagai ajaran agama oleh penganut sang Buddha, tetapi juga telah berinkulturasi dengan berbagai budaya lokal dan membuat tradisi-tradisi baru yang sampai sekarang masih bisa kita jumpai.

Psikologi sebagai ilmu pengetahuan ternyata juga “bertemu” dengan ajaran Buddha. Jika merujuk dari tahun berdirinya laboratorium psikologi pertama oleh Wilhelm Wundt, ilmu psikologi baru muncul tahun 1897, terpaut lebih dari seratus abad setelah era kehidupan sang Buddha.

“Pertemuan” psikologi dengan ajaran Buddha baru terjadi abad 20, atau tepatnya saat Carl Jung, seorang ilmuwan psikologi dari Swiss, pergi ke India untuk mempelajari ajaran Buddha dan Hindu.

Selanjutnya setelah itu, mulai pertengahan tahun 1950-an, saat era perkembangan psikologi humanistik, semakin banyak imuwan psikologi yang melihat bahwa ilmu psikologi dan ajaran Buddha dalam beberapa bagian memiliki kesamaan.

“Pertemuan” psikologi dan ajaran Buddha semakin lebih sering terjadi setelah kajian psikologi transpersonal berkembang tahun 1980-an.

Berikut adalah catatan dari beberapa ilmuwan psikologi tentang “pertemuan” ilmu psikologi dan ajaran Buddha.

Catatan pertama dari Carl Rogers, ilmuwan psikologi penggagas konsep ketidaksadaran kolektif dan arketipe.

Dari Desember 1937 hingga Februari 1938, Carl Jung pergi ke India untuk mempelajari ajaran Hindu, Yoga, dan Buddha.

Di bukunya “The Psychology of Eastern Meditation” (1978), Carl Jung menulis bahwa meditasi budhis mirip dengan individuasi, proses pertumbuhan dan perkembangan aspek psikologis individu.

Rogers mengatakan bahwa meditasi budhis dan proses individuasi sama-sama proses untuk menyadari apa yang ada di pikiran bawah sadar.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa melalui meditasi dan latihan spiritual yang lain, individu dapat menjalani proses individuasi hingga sadar sepenuhnya akan diri mereka.

Catatan kedua dari Erich Fromm, ilmuwan psikologi dari Jerman yang pernah menulis “The Art of Loving” (1956). Di buku “TO HAVE OR TO BE?” (1976), ia menulis juga tentang ajaran Buddha.

Erich Fromm melihat bahwa ajaran Buddha dan psikologi memiliki keterkaitan. Ajaran Buddha dapat memberikan perspektif baru kepada psikologi “barat” untuk memahami manusia.

Erich Fromm menulis bahwa Buddha mengajarkan sumber dari segala penderitaan ada di pikiran dan cara untuk mengatasi penderitaan adalah dengan mencapai kesadaran dan membebaskan pikiran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com