Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Inflasi Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Kompas.com - 23/02/2021, 21:56 WIB
Vanya Karunia Mulia Putri ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Keadaan ekonomi Indonesia pada awal kemerdekaan sangatlah buruk. Salah satu buktinya ialah inflasi besar-besaran atau hiperinflasi setelah proklamasi kemerdekaan.

Saat inflasi terjadi pada 1950, biaya hidup masyarakat meningkat sebesar 100 persen. Bahan pangan juga mengalami kenaikan harga dan upah yang diterima para pegawai dan buruh pun ikut terdampak.

Menurut M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2007), penyebab utama terjadinya inflasi setelah proklamasi kemerdekaan ialah karena ada tiga jenis mata uang yang beredar di pasaran secara tidak terkendali.

Kala itu, Pemerintah Indonesia menyatakan jika tiga jenis mata uang tersebut berlaku di Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

Dilansir dari situs Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), berikut merupakan mata uang yang berlaku saat awal kemerdekaan, berdasarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada 3 Oktober 1945:

  1. Uang kertas De Javasche Bank yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda.
  2. Uang kertas dan logam milik Pemerintah Hindia Belanda yang telah disiapkan Jepang, yakni De Japansche Regering dengan satuan gulden.
  3. Uang kertas milik Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia, yakni Dai Nippon emisi 1943 dan Dai Nippon Teikoku Seibu emisi 1943 bergabmbar Wayang Orang Satria Gatot Kaca.

Baca juga: Pengertian Inflasi: Indikator, dan Pengelompokan

Selain karena adanya tiga jenis mata uang yang berlaku, inflasi di Indonesia saat awal kemerdekaan juga disebabkan oleh beberapa hal lainnya.

Apa sajakah itu? Berikut penjelasannya yang mengutip dari situs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY):

  1. Indonesia belum memiliki mata uang resmi sebagai alat pembayaran. Sehingga akhirnya pemerintah memberlakukan tiga jenis mata uang tersebut.
  2. Keadaan kas negara kosong sehingga negara tidak memiliki penghasilan atau pendapatan sama sekali. Sebaliknya jumlah pengeluarannya terus meningkat.
  3. Mata uang Jepang beredar secara tidak terkendali. Karena saat itu Indonesia baru saja terbebas dari penjajahan Jepang. Dalam hal ini, petani Indonesia paling dirugikan karena mereka paling banyak memiliki atau menyimpan mata uang tersebut.
  4. Pemerintah tidak sanggup mengendalikan peredaran tiga jenis mata uang tersebut di pasaran, khususnya mata uang Jepang dan Belanda.

Dalam perekonomian, Indonesia pernah mengalami hiperinflasi. Hal ini terjadi di masa orde lama, tepatnya di era demokrasi terpimpin (1963-1965). Tingkatan inflasi saat itu bahkan menyentuh angka 600 persen lebih.

Hal ini memaksa Pemerintah Indonesia melakukan pemotongan nilai Rupiah atau Sanering. Jika semula nilai uangnya sebesar Rp 1000. Namun, karena adanya hiperinflasi, nilainya merosot menjadi Rp 1.

Pada 1960, tingkat inflasi di Indonesia sebesar 20 persen. Kemudian tiap tahunnya, angka inflasi di Indonesia terus meningkat. Pada 1961, inflansi di Indonesia meningkat jadi 95 persen.

Kemudian pada 1962, inflansi di Indonesia mencapai 156 persen. Pada tahun berikutnya, tingkatan inflansi menurun jadi 129 persen. Inflansi meningkat kembali pada 1964 menjadi 135 persen. Inflansi di Indonesia meningkat tajam pada tahun berikutnya, yakni menjadi 594 persen.

Sebelum hiperinflasi di Indonesia pada 1963 hingga 1965, tingkat inflasi Indonesia masih berada dalam tingkatan 10 hingga 20 persen. Begitu pula dengan tahun 1969 hingga 1971, tingkat inflasi Indonesia berada di bawah 10 persen.

Pada 1998, tingkat inflasi di Indonesia kembali tinggi, yakni berada di sekitar 77 persen. Hal ini merupakan imbas dari krisis moneter pada tahun tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com