Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Risiko Kematian 2 Kali Lipat akibat Polusi PM 2.5 Batu Bara

Kompas.com - 29/11/2023, 06:34 WIB
Usi Sulastri,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masalah polusi udara khususnya yang melibatkan partikulat PM 2.5, telah menjadi permasalahan yang terus berlanjut di tingkat global.

Dengan dampak yang muncul semakin merugikan terhadap kesehatan manusia.

Baca juga: Apa Itu PM2,5 yang Selalu Dikaitkan dengan Polusi Udara?

Sebuah penelitian terbaru menyoroti bahwa risiko terkait polusi udara telah meningkatkan jumlah kematian secara signifikan.

Bagaimana fenomena ini terjadi?

PM 2.5 mencapai puncaknya antara tahun 1999 dan 2007

Penelitian yang dipimpin oleh George Mason University mengungkapkan bahwa risiko kematian akibat polusi partikulat batu bara lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan polusi partikulat PM2.5 yang berasal dari sumber lain.

Dilansir dari phys.org, Jumat (24/11/2023), studi yang dipublikasikan di Science tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak 460.000 kematian dapat dikaitkan dengan PM 2.5 batu bara.

Kejadian ini terutama terjadi antara tahun 1999 dan 2007 karena tingkat PM 2.5 batu bara mencapai puncak tertingginya.

Penelitian sebelumnya telah menghitung dampak kematian yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara, mengasumsikan bahwa toksisitas PM 2.5 batu bara setara dengan PM 2.5 dari sumber lain.

Penulis utama penelitian ini menyatakan bahwa PM 2.5 dari batu bara dianggap hanya sebatas sebagai polutan udara.

Namun ternyata jauh lebih berbahaya daripada perkiraan sebelumnya dan dampak kematian akibatnya telah terlalu diabaikan.

Baca juga: Waspada Dampak Buruk Terpapar Polusi Udara PM2.5, Sesak Napas hingga Kematian Dini

“PM 2,5 dari batu bara telah diperlakukan seolah-olah itu hanyalah polutan udara. Namun ternyata ini jauh lebih berbahaya daripada yang kita duga dan beban kematiannya terlalu diremehkan,” kata penulis utama, Lucas Henneman.

Kematian menurun setelah pemasangan filter

Sebanyak 85 persen dari total 460.000 kematian akibat pembangkit listrik tenaga batu bara terjadi dalam rentang tahun 1999 hingga 2007, dengan rata-rata lebih dari 43.000 kematian setiap tahunnya.

Penurunan dramatis dalam jumlah korban terjadi seiring penutupan pabrik atau pemasangan filter belerang untuk mematuhi peraturan lingkungan yang baru, dikutip dari The Guardian, Jumat (24/11/2023).

Pada tahun 2020, angka kematian akibat PM2.5 batu bara mengalami penurunan sebesar 95 persen mencapai angka 1.600 orang.

Meskipun penggunaan batu bara telah menurun di AS masih ada lebih dari 200 pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang 20 persen dari total pembangkitan listrik pada tahun 2022, menurut Energy Information Administration AS (EIA).

Negara-negara seperti Indiana, Kentucky, dan Texas menjadi wilayah dengan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara terbanyak, diikuti oleh Illinois, Missouri, dan Pennsylvania.

Baca juga: Waspadai Kadar Polusi Udara PM2.5 Lebih Tinggi di Pagi Hari, Studi Jelaskan

Secara global, penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara terus meningkat dengan negara-negara seperti Afrika Selatan, Tiongkok, India, dan Polandia menjadi negara-negara yang paling bergantung pada bahan bakar fosil yang paling mencemari lingkungan.

"Temuan kami sangat berharga bagi pembuat kebijakan dan regulator dalam pertimbangan sumber energi, terutama karena batu bara masih memiliki posisi yang signifikan dalam pemikiran energi Amerika," kata Francesca Dominici, seorang profesor di Harvard TC Chan menekankan.

"Ini memberikan pertimbangan penting saat mereka menilai kebutuhan akan energi yang ekonomis dengan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com