Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Dampak El Nino Mengancam Ketahanan Pangan Nasional

Kompas.com - 05/07/2023, 12:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, istilah El Nino makin popular di Tanah Air karena membuat gerah dampak suhu bumi meningkat. Dari sisi lingkungan, kegerahan ini adalah pertanda buruk karena bencana kekeringan dan kebakaran sudah mengintai.

Popularitas El Nino tak lepas dari laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dipublikasikan pada Rabu (3/5/2023).

Laporan itu menyatakan, setelah fenomena La Ninia yang berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, terdapat peluang 60 persen terjadinya pergeseran dari kondisi El Nino-Southern Oscillation (ENSO) netral ke El Nino pada Mei–Juli 2023.

Berdasarkan pemuthakiran prediksi, peluang tersebut dapat meningkat 70 persen pada Juni-Agustus 2023. Adapun ENSO netral merupakan situasi yang menunjukkan El Nino dan La Nina sedang tidak terjadi.

Fenomena alam yang ditandai dengan kejadiaan ekstrem ini dipicu anomali suhu permukaan laut di Lautan Pasifik.

Prof. Daniel Murdiyarso, guru besar geofisika dan meteorologi IPB (Kompas, 7/6/2023), menggambarkan dengan jelas jika anomali naik menjadi 1 derajat Celsius, uap air di atas kepulauan Indonesia akan disedot ke timur sehingga cuaca tidak hanya panas, tetapi juga kering.

Masih segar dalam ingatan kita, El Nino 2015 yang memporak-porandakan sekitar 3 juta hektar hutan dan lahan gambut di pantai Timur Sumatera dan Kalimantan Tengah itu dipicu anomali 3 derajad Celsius, memecahkan rekor 1983 yang mencapai 2,8 derajat Celsius.

Bencana yang menelan kerugian sekitar Rp 220 triliun itu juga mengemisi CO2 sebesar 11,3 Tg/hari selama September-Oktober 2015, lebih tinggi dari emisi harian dari gabungan 28 negara Uni Eropa yang 8,9 Tg/hari.

Kerugian finansial emisinya tak dihitung, apalagi kerugian ekologisnya tidak terhitung besarnya. Setelah delapan tahun berlalu, El Nino tahun ini patut diwaspadai karena dari catatan jangka panjang, kejadian ekstrem ini berulang setiap saat dalam selang 10 tahun (inter-decadal).

Menurut pengamatan Biro Meteorologi Australia, anomali diawal Juni ini mencapai 0,9 derajat Celsius, Agustus akan meningkat menjadi 1,6 derajat Celsius (masuk kategori merah), dan Okktober menjadi 2,0 derajat Celsius.

Badan yang berurusan dengan laut dan atmosfer Amerika Serikat (NOAA) sudah memperkirakan peluang itu sangat tinggi menuju akhir 2023. Dengan kata lain, kemarau tahun ini, akan lebih panjang dari biasanya.

Lantas apa dampaknya terhadap ketahan pangan dan pertanian Indonesia serta juga kelestarian hutan di Indonesia?

Dampak kebakaran hutan dan lahan

Indonesia beruntung mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap, mulai dari pantai sampai hutan hujan dataran tinggi.

Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi.

Terdapat dua ekosistem hutan yang unik, selalu digenangi air walaupun karakteristiknya berbeda, yaitu hutan gambut dan hutan mangrove.

Keduanya diklaim mampu menyerap dan menyimpan emisi karbon terbesar dibandingkan dengan tropis lainnya.

Meskipun demikian, hutan gambut dan hutan mangrove manfaatnya besar dalam menyerap dan menyimpan emisi karbon, namun apabila sekali terjadi kerusakan sulit kita mengembalikan kondisi ekosistem gambut dan mangrove seperti semula.

Hutan gambut, misalnya, yang selalu digenangi air rawa dan di Indonesia terbentang seluas 13,34 juta hektar- dengan sebaran terbesar berturut-turut di Sumatera (43 persen), Kalimantan (32 persen) dan Papua (25 persen)- sekali terbuka karena deforestasi, rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com