Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Pentingnya Kajian Jejak Air Bioenergi yang Diklaim Ramah Lingkungan

Kompas.com - 15/04/2021, 19:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dian Burhani

BESARNYA dukungan pemerintah mengenai bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioetanol meningkatkan animo pelaku industri dan peneliti untuk lebih mengembangkan dan meng-upgrade penelitian mengenai bioenergi.

Bioenergi digembar-gemborkan ramah lingkungan karena dapat mengurangi efek rumah kaca, tapi apakah penggunaan besar-besaran bioenergi ini benar-benar “ramah lingkungan”?

Meningkatnya produksi bahan bakar nabati berarti bertambahnya bahan baku biomassa yang diperlukan. Baik itu bioenergi generasi pertama yang berbasis pati, generasi kedua yang berbasis lignoselulosa maupun generasi ketiga dari alga.

Penambahan ketersediaan bahan baku berarti bertambahnya lahan, irigasi dan pemakaian pupuk untuk penanaman. Hal ini menyebabkan timbulnya kekhawatiran dari berbagai kalangan mengenai tercukupinya ketersediaan dan kualitas air.

Baca juga: Memahami Terjadinya Kebakaran dan Potensi Biomassa sebagai Racun Api

Untuk pertanian sendiri, dibutuhkan sekitar 70% total konsumsi air global yang diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya.

Bisa dibayangkan, Indonesia yang memang adalah negara pertanian, harus menjaga sustainability (kelangsungan) air tidak hanya untuk pertanian dan masyarakat, tetapi ditambah lagi untuk keperluan pengembangan bahan bakar nabati. Pemerintah harus menyiapkan strategi jitu untuk menghindari kelangkaan air yang mungkin terjadi di masa depan.

Sebenarnya berapa air yang dibutuhkan untuk menghasilkan bahan bakar nabati?

Pada tahun 2003, Hoekstra memperkenalkan Water Footprint (WF), suatu konsep yang digunakan untuk menghitung air ”virtual” yang dibutuhkan dalam menghasilkan suatu produk atau jasa. Di tahun 2008, Hoekstra dan Chapagain mengembangkan konsep ini sehingga hubungan antara konsumsi manusia dan ketersediaan air global dapat dianalisa.

Dalam konsep Water Footprint, pemakaian air diklasifikasikan dalam tiga jenis yang spesifik berdasarkan daerah dan waktu.

 

Pertama, air hijau (green water) yang mengacu pada volume air hujan yang digunakan pada saat penanaman dan produksi. Komponen ini sangat penting khususnya untuk produk hasil pertanian dan kehutanan.

Air biru (blue water) adalah air permukaan dan air tanah yang juga digunakan pada saat penanaman dan produksi. Pada saat penanaman, air biru yang dimaksud adalah air yang diperlukan untuk irigasi. Pada saat produksi, air biru dikategorikan sebagai air proses (air yang digunakan untuk produksi).

Ketiga adalah air abu-abu (grey water). Air abu-abu didefinisikan sebagai air yang dibutuhkan untuk melarutkan polutan berupa pupuk (N dan P) sehingga pada saat dibuang ke lingkungan sudah sesuai dengan standar kualitas air di daerah tersebut.

Baca juga: Jaga Bumi, LIPI Tawarkan Konversi Biomassa Ganti Bahan Bakar Fosil

Water Footprint juga bisa dijadikan sebagai konsep untuk membandingkan efisiensi penggunaan air untuk menghasilkan suatu produk yang sama dari berbagai daerah.

Perlu diingat bahwa sebelum menghitung Water Footprint, perlu ditentukan dulu batasan yang akan digunakan. Perhitungan yang sempurna melibatkan penggunaan air langsung (direct water), yaitu air yang secara langsung digunakan pada saat penanaman dan produksi, dan air tidak langsung (indirect water) yang mengacu pada penggunaan air pada saat distribusi dan rantai pasok produk.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com