Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Pentingnya Kajian Jejak Air Bioenergi yang Diklaim Ramah Lingkungan

Kompas.com - 15/04/2021, 19:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Misalnya untuk produksi bioetanol dari tebu. Perhitungan Water Footprint dimulai dari air yang dibutuhkan pada saat penanaman, pemanenan, pemisahan bahan baku nira hingga produksi bioetanol (Hoekstra et al, 2011).

Data real seperti data iklim, luas lahan dan jumlah panen dan studi literatur mengenai tanaman yang bersangkutan diperlukan untuk menghitung nilai evapotransportasi yang mengacu pada nilai air hijau. Untuk diketahui, evapotransportasi adalah penguapan dari tanah dan permukaan tanah dimana tanaman tumbuh dan penguapan dari proses transpirasi tanaman.

Untuk perhitungan Water Footprint pada saat produksi, diperlukan kelengkapan dari neraca massa dan neraca energi serta nilai fraksi dari produk yang dihasilkan.

Perhitungan Water Footprint saja tidak cukup untuk melihat potensi dampak suatu produk terhadap lingkungan, ketersediaan air di tempat tersebut (Water Availability) juga diperlukan. Dari rasio kedua komponen, didapatlah nilai Water Stress Index (WSI) yang menyatakan apakah benar, produksi produk itu dapat membahayakan ketersediaan dan kualitas air di daerah tersebut (Lovarelli et al, 2016).

Baca juga: Dua Capres Ingin Kembangkan Biodiesel Sawit, Bagaimana Nasib Hutan Indonesia?

Banyak studi yang meyakini bahwa bahan bakar nabati membutuhkan banyak air dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Gerbens-Leenes et al. pada 2009 menunjukkan bahwa jejak air biomassa kira-kira lebih tinggi 70 – 700 dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Mungkin untuk sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, memang tidak akan terlalu bermasalah, tapi kita juga harus memikirkan sustainability lingkungan di sekitar lahan hingga lima puluh tahun ke depan.

Oleh karena itu, perhitungan Water Footprint bahan baku biomassa hasil pertanian atau kehutanan untuk bioenergi di Indonesia perlu dipertimbangkan untuk dilakukan.
Analisa mengenai Water Footprint bukannya belum pernah dilakukan, tapi mungkin dengungnya saja yang belum terdengar.

Beberapa peneliti telah mulai menghitung nilai Water Footprint untuk bahan bakar nabati, misalnya bioetanol. Penelusuran studi literatur dari tahun 2005 hingga 2013 terlihat bahwa bioetanol dari molase membutuhkan air paling banyak dengan nilai WF adalah 11,030.4 L H2O/L etanol. Sedangkan bahan baku gula bit membutuhkan air paling sedikit dengan nilai WF sebesar 790 L H2O/L etanol (Chiu et al. 2016).

Namun, perlu diingat bahwa nilai WF suatu bahan baku akan berbeda pada daerah yang berbeda. Misalnya, WF bioetanol untuk tebu di Brazil adalah 2450 L H2O/ L etanol. Sedangkan di India, WF nya sebesar 2995 L H2O/L etanol. Hal ini karena Water Footprint suatu produk sangat spesifik tergantung pada tempat dan waktu.

Untuk mengetahui nilai estimasi Water Footprint yang mendekati sebenarnya, data yang digunakan untuk perhitungan sebaiknya diambil dari lima tahun ke belakang masa panen tanaman.

Water Footprint suatu tanaman di daerah yang sama dapat berubah tiap tahunnya tergantung dengan hasil panen. Semakin tinggi hasil panen, semakin rendah pula nilai Water Footprint. Nilai Water Footprint produk yang rendah bisa diartikan bahwa penggunaan air untuk menghasilkan produk tersebut sudah dilakukan dengan efisien.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai Water Footprint yang rendah harus dibarengi dengan hasil panen yang tinggi. Dan untuk menghasilkan hasil panen yang tinggi diperlukan perencanaan penanaman yang matang disertai dengan teknologi pertanian dan produksi yang efisien.

Seperti analisis siklus hidup lainnya, analisa Water Footprint tergantung pada tujuan. Apakah hanya ingin menentukan hot spot atau hingga sampai dapat mempengaruhi kebijakan dari policy maker.

Agar kekhawatiran ini dapat didengar tentu saja penelitian mengenai analisa Water Footprint tidak hanya berhenti sebatas publikasi saja. Tetapi harus ada sinergi dan kerjasama yang baik antara peneliti dan pemerintah sehingga perkembangan bioenergi di Indonesia yang benar-benar “ramah lingkungan” yang sustainable dapat terwujud.

Dian Burhani

Peneliti di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com