KOMPAS.com - Pesawat boeing 737-524 Sriwijaya Air dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1/2021) siang.
Disebutkan pula bahwa pesawat yang membawa 6 awak pesawat dan 56 penumpang ini telah mengalami hilang kontak di sekitar pukul 14.36 WIB di sekitar Pulau Laki, Kepulauan Seribu.
Menanggapi peristiwa ini, Tim Reaksi dan Analisis Kebencanaan (Treak) PSTA-Lapan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengeluarkan analisis terbaru mereka, mengenai kondisi dinamika atmosfer pada saat dan menjelang jatuhnya Pesawat Sriwijaya tersebut.
Baca juga: Mengenal Critical Eleven, Dua Waktu Kritis dalam Penerbangan Pesawat
Berikut beberapa fakta dinamika atmosfer yang terjadi sebelum dan saat Pesawat Sriwijaya Air SJ182 jatuh.
Treak menuliskan, berdasarkan analisis dinamika atmosfer menunjukkan ada sistem konveksi skala meso yang telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB.
Sistem ini kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.
Dijelaskan Treak Lapan, untuk kondisi sinoptik atau cuaca yang memiliki distribusi terhadap kondisi atmosfer, terdapat vorteks Borneo dan Westerly burst (angin baratan kuat) dari Samudera Hindia.
Diketahui bahwa kecepatan burst atau angin baratan kuat ini adalah sekitar 7-8 meter per detik(m/det) pada ketinggian 1,5 meter, yang lebih kuat dibandingkan dengan klimatologis angin monsun baratan yaitu sekitar 3 m/det.
Dinamika atmosfer berikutnya adalah perihal kondisi meso, di mana ternyata di sekitar lokasi kejadian terdapat konvergensi angin dari utara dan barat di permukaan (10 meter).
Konvergensi angin ini telah mengintrusi kelembapan dan menumbuhkan sistem konveksi baru dari Laut Jawa ke utara Jakarta.
Baca juga: Mengenal Black Box, Komponen Pesawat yang Jadi Kunci Informasi Jatuhnya Sriwijaya Air