Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Covid-19 Menular Lewat Airborne, Ilmuwan Jepang Teliti Teknologi untuk Kurangi Risikonya

Kompas.com - 13/10/2020, 18:17 WIB
Anissa DW,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejak mulai merebak awal 2020, virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) telah menyebar dan menginfeksi lebih dari 32 juta orang di dunia.

Cara penyebarannya pun terus berkembang. Sebelumnya, virus ini dipercaya hanya dapat menular melalui droplet atau percikan pernapasan orang yang terinfeksi Covid-19.

Namun, pada Juli 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui adanya bukti bahwa virus corona SARS-CoV-2 dapat menyebar lewat partikel-partikel kecil yang melayang di udara atau airborne.

Berbeda dengan droplet, penularan lewat airborne dapat terjadi karena adanya partikel virus berukuran sangat kecil (mikroskopis) yang melayang di udara.

Mengutip health.grid.id, Selasa (14/7/2020), droplet biasanya memiliki diameter antara lima hingga 10 mikrometer dan akan jatuh ke permukaan tanah atau benda-benda ketika seseorang batuk atau bersin.

Sementara itu, partikel virus yang menyebar lewat airborne berukuran kurang dari lima mikrometer sehingga lebih cepat menguap daripada jatuh ke tanah. Artinya, virus bisa bertahan lama di udara, melayang, dan bergerak hingga jarak yang jauh sehingga berisiko menginfeksi orang yang menghirup partikel tersebut.

"Ada beberapa bukti yang muncul. Kemungkinan penularan melalui udara dalam ruang publik, terutama dalam kondisi yang sangat spesifik, ruangan padat, tertutup, dan ventilasi buruk. Bukti ini tidak dapat dikesampingkan," ujar pimpinan teknis WHO untuk pencegahan dan pengendalian infeksi Dr Benedetta Allegranzi, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (10/7/2020).

Penemuan WHO tersebut akan mengubah tata cara masyarakat dalam melindungi diri. Apalagi, hingga saat ini belum ada cara yang cukup efektif untuk mengurangi risiko penularan melalui airborne.

“Penggunaan disinfektan seperti alkohol dan detergen (surfaktan) sangat efektif untuk penanggulangan virus yang melekat (adhesive). Namun, belum ada penanggulangan efektif untuk mengurangi risiko infeksi yang dimediasi oleh aerosol (mikrodroplet), selain memakai masker,” ujar Dr Jiro Yasuda, profesor Pusat Penelitian Nasional untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, Universitas Nagasaki, Jepang.

Berangkat dari hal tersebut, Profesor Jiro Yasuda bersama Profesor Asuka Nanbo dari Universitas Nagasaki dan Profesor Hironori Yoshiyama dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Universitas Shimane mencoba meneliti teknologi yang mampu menonaktifkan virus corona jenis baru yang bertahan di udara.

Untuk diketahui Profesor Asuka Nanbo dan Profesor Hironori Yoshiyama merupakan anggota Dewan Masyarakat Jepang untuk Virologi, sebuah institusi yang dihormati secara internasional dalam penelitian penyakit menular di Jepang.

Uji teknologi pemurni udara

Saat melakukan penelitian tersebut, Profesor Jiro Yasuda dan timnya menggunakan perangkat penguji virus yang dilengkapi dengan teknologi Plasmacluster dari Sharp.

Plasmacluster adalah teknologi pemurni udara unik milik Sharp yang bekerja dengan melepaskan ion positif (H + (H2O) m) dan ion bermuatan negatif (O2– (H2O) n) ke udara secara bersamaan.

Ion positif dan negatif itu secara instan mengikat pada permukaan bakteri, jamur, virus, alergen, dan sejenisnya yang ada di udara. Kemudian, mengubahnya menjadi radikal OH (hidroksil) yang memiliki daya oksidasi sangat tinggi.

Dalam uji itu, virus corona berbentuk aerosol dilepaskan dalam sebuah ruang uji bervolume sekitar tiga liter. Virus yang melayang di dalam ruang uji itu kemudian disinari oleh ion yang dihasilkan teknologi Plasmacluster selama sekitar 30 detik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com