Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Membuktikan, Sukun Berpotensi Jadi Superfood Berikutnya

Kompas.com - 20/09/2020, 11:04 WIB
Monika Novena,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of British Colombia mengungkapkan jika sukun bisa jadi merupakan makanan super atau super food berikutnya.

Hal tersebut terungkap setelah tim peneliti melakukan studi terhadap tanaman yang tumbuh melimpah di negara-negara tropis dan Pasifik Selatan tersebut.

Seperti dikutip dari Phys.org, Sabtu (19/9/2020) buah sukun bisa dimakan saat matang atau bisa dikeringkan dan digiling menjadi tepung yang bisa digunakan kembali untuk berbagai jenis makanan.

Sayangnya meski sudah lama dimanfaatkan, belum banyak pengetahuan ilmiah dasar mengenai dampak kesehatan pada manusia dengan pola makan berbasis sukun.

Baca juga: Pohon Asal Australia Ini Beracun dan Bisa Sebabkan Sakit Berhari-hari

"Sukun adalah tanaman pokok dari kepulauan Pasifik dan memiliki potensi untuk meningkatkan keamanan pangan di seluruh dunia," ungkap Susan Murch, peneliti dari British Colombia.

Dalam studinya, para peneliti menganalisis empat buah sukun yang sudah berbentuk tepung dari pohon yang berasal dari Hawaii. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah untuk memeriksa indeks glikemik sukun.

Selanjutnya, para peneliti mempelajari pencernaan dan dampak kesehatan dari pola makan berbahan sukun dengan cara memberikannya pada tikus dan menggunakan model pencernaan enzim.

"Tujuan dari penelitian kami saat ini adalah untuk menentukan apakah diet yang mengandung sukun menimbulkan masalah kesehatan yang serius," papar Yin Liu, pemimpin penelitian dalam studi ini.

Baca juga: Menoleh Kembali ke Makanan Lokal yang Tersingkir oleh Beras

Hasilnya, pada model pencernaan enzim, para peneliti menemukan bahwa protein sukun lebih mudah dicerna daripada protein gandum.

Sementara itu, tikus dengan diet sukun memiliki tingkat pertumbuhan dan berat badan yang jauh lebih tinggi dibandingkan tikus yang diberi diet standar.

Liu juga mencatat, tikus yang menjalani diet sukun memiliki konsumsi air harian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tikus yang menjalani diet gandum.

"Sebagai studi pertama mengenai diet sukun, data kami menunjukkan jika sukun tidak menimbulkan dampak toksik," jelas Liu.

Tim peneliti juga menemukan tepung sukun adalah tepung bebas gluten, memiliki indeks glikemik rendah, padat nutrisi dan memiliki protein lengkap untuk makanan modern.

Baca juga: Berumur Panjang, Pohon Ek di Italia Berusia Hampir 1.000 Tahun

"Studi rinci dan sistematis tentang dampak kesehatan dari diet sukun belum pernah dilakukan sebelumnya dan kami ingin berkontribusi pada pengembangan sukun sebagai tanaman yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berproduksi tinggi," kata Liu.

Lebih lanjut, pemahaman mendasar tentang dampak kesehatan dari mengonsumsi sukun sangat diperlukan dan penting untuk mendukung sukun sebagai bahan pokok atau pangan bergizi di masa depan bagi populasi global.

Sebagai gambaran saja, konsumsi harian rata-rata biji-bijian di Amerika Serikat adalah 189 gram per hari.

Namun jika makan sukun yang dimasak dalam jumlah yang sama, mereka dapat memenuhi hampir 57 persen dari kebutuhan serat harian mereka, lebih banyak 34 persen dari kebutuhan protein yang diperlukan serta pada saat yang sama mengonsumsi vitamin C, kalium, zat besi, kalsium, dan fosfor.

"Secara keseluruhan, penelitian ini mendukung menggunaan sukun sebagai bagian diet sehat dan bergizi seimbang," kata Liu.

Studi ini telah dipublikasikan di PLOS ONE.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com