Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2023, 21:00 WIB
Muhdany Yusuf Laksono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai bangunan gedung akan berdiri di Ibu Kota Nusantara (IKN). Baik itu perkantoran, komersial, hingga hunian vertikal.

Dengan banyaknya gedung yang akan dibangun, jenis bangunan tinggi maupun pencakar langit bisa saja menjadi pilihan.

Sebab jenis bangunan gedung itu dapat meminimalisasi cut and fill lahan, serta tidak banyak memakan luasan lahan maupun vegetasi di IKN.

Namun, sebetulnya perlukah membangun gedung pencakar langit di IKN?

Jimmy S. Juwana, Ahli Konstruksi dari Universitas Trisakti berpendapat, gedung pencakar langit yang standarnya memiliki 50-100 lantai secara umum diperuntukkan bagi daerah dengan lahan sempit dan harganya mahal.

Sehingga, kawasan gedung masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup besar, atau sesuai ketentuan minimal yakni 30 persen.

"Tapi kalau di IKN dengan lahan cukup luas sebetulnya tidak perlu bangunan bertingkat tinggi, apalagi pencakar langit. Mungkin cukup dengan bangunan menengah yang maksimum 8 lantai supaya juga tidak terlalu kontras dengan lingkungan sekitar," jelas Jimmy dalam seminar virtual berjudul Arsitektur Menara-Indah dan Kokoh, pada Kamis (15/06/2023).

Baca juga: Luhut Ingin Asing Awasi Proyek IKN, Ini Tanggapan Kementerian PUPR

Menurut dia, hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan IKN ialah tantangan topogragi tanah yang berkontur dan kondisi geologi serta geoteknik.

"Di mana ada lapisan tanah yang kalau tidak terkena air kerasnya bukan main, tapi begitu kena air sedikit menjadi bubur," tandasnya.

Lapisan itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli geoteknik dan struktur untuk mengantisipasi dalam mendesain bangunan di IKN supaya biaya untuk struktur pondasi tidak besar.

Selain itu, terdapat pula kemungkinan adanya bidang tanah yang mengalami longsor, sehingga mengakibatkan bangunan runtuh.

"Bukan karena daya pikul tanahnya kurang, tetapi juga karena ada (bangunan gedung) pada bidang longsor yang (tanahnya) sangat labil," pungkas Jimmy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com