BEBERAPA waktu belakangan ini jalan-jalan ibu kota mulai dipenuhi berbagai reklamae para politikus. Perjalanan menuju pemilihan presiden 2024 ternyata sudah dimulai.
Mereka yang berambisi maju mencalonkan diri sepertinya dipaksa untuk mulai membangun popularitas, mengingat perjalanan menjadi calon presiden harus melewati seleksi di level partai dulu.
Mereka yang tidak memiliki elektabilitas baik akan sulit dicalonkan oleh partai politik. Beberapa selentingan mengenai bagaimana elektabilitas bisa menekan biaya mahar untuk dicalonkan pun bertebaran.
Walaupun masih butuh diklarifikasi kebenarannya, namun elektabilitas sebagai syarat untuk dicalonkan tampak begitu masuk akal.
Atas alasan ini pula para politikus menggelontorkan pundi-pundi uang yang gosipnya, beberapa dari mereka mengeluarkan tidak kurang dari Rp 1 triliun untuk upaya membangun popularitas ini.
Pertanyaannya apakah popularitas cukup?
Lihatlah bagaimana popularitas atau dalam terminologi marketing sering disebut dengan brand awareness ternyata tidak cukup membawa beberapa nama seperti Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Wiranto, dan Amin Rais, ke tampuk kepemimpinan tertinggi negeri ini.
Jawabannya tentu saja karena popularitas tidak selalu cukup untuk mendongkrak elektabilitas.
Popularitas atau sering disebut sebagai brand awareness memang dipercaya bisa membantu. Bayangkan bagaimana mungkin kita memilih sebuah brand ketika kita bahkan tidak mengingat brand itu ada.
Belum lagi ada fenomena the mere exposure effect, yaitu kecenderungan kita untuk memilih sesuatu yang lebih familiar untuk kita.
Karena familiarity secara bawah sadar memberi kita “rasa aman”. Memilih sesuatu yang tidak kita kenal padahal ada opsi yang kita kenal menciptakan kekhawatiran, kecuali jika opsi yang dikenal memiliki persepsi yang tidak baik di benak kita.
Dari sini saja sudah terbukti bahwa menjadi dikenal itu tidak cukup, tapi sebagai apa dan bagaimana kita dikenal itu jauh lebih penting.
Maka dari itu walaupun awareness/popularity itu penting, tapi tidak cukup untuk membangun desirability.
Bagi politikus dan marketers yang berkocek tipis, bersaing dengan mereka yang berkocek tebal memang menyebalkan. Karena suka atau tidak, awareness memang bisa dibeli.
Lihatlah Meikarta yang beberapa tahun lalu memborong ribuan reklame di berbagai kota. Begitu juga koran, setiap harinya ada 5 halaman iklan penuh dikuasai oleh Meikarta.