Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Reinterpretasi Hamas Kunci Perdamaian

Kompas.com - 22/11/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKALIPUN penolakan masif berlangsung di banyak negara, invasi dan serangan Israel atas Gaza masih terlihat agak sulit dihentikan.

Persoalannya terletak pada Hamas. Menghentikan serangan ke Gaza berarti memberi jeda kepada Hamas untuk bernapas, lalu menyusun ulang serangan roket selanjutnya ke Israel.

Pandangan ini tidak saja dipegang oleh pemerintah yang sedang berkuasa di Tel Aviv, tapi juga dipercayai dan diyakini oleh Joe Biden, Presiden Amerika Serikat.

Dalam opini editorialnya (op-ed) di The Washington Post pada 18 November 2023, Biden memberikan dukungan kepada Israel dalam menghancurkan kekuatan Hamas hingga ke akar-akarnya.

Menurut Biden, tak ada perdamaian di Gaza dan di Israel jika Hamas masih bekuasa di Gaza, karena Hamas akan selalu mendelegitimasi segala langkah Israel dan Amerika Serikat dalam menperjuangkan solusi dua negara (the two-state solution).

Bagi Hamas, layaknya Iran, Israel semestinya tidak ada. Jika terjadi perdamaian, maka wilayah Palestina harus seperti sebelum tahun 1967, yang sejatinya tidak mungkin lagi diwujudkan.

Sejatinya, pandangan semacam inilah yang membuat solusi dua negara menjadi tak pernah mungkin diwujudkan.

Artinya, negara-negara Arab yang terhimpun di dalam Liga Arab dan organisasi negara-negara Muslim semestinya tidak saja menuntut gencatan senjata, tapi juga mencari cara agar Hamas bisa sama-sama didelegitimasi keberadaannya.

Lalu memberi peran yang besar kepada Otoritas Nasional Palestina di Ramallah untuk mulai memimpin Gaza dan Tepi Barat, sebagai jalan awal direalisasikannya solusi dua negara.

Pandangan Biden tersebut sekaligus menjadi penolakan halus Gedung Putih atas permintaan negara-negara Muslim yang diwakili oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, baru-baru ini untuk memaksa Israel melakukan gencatan senjata.

Biden memandang, permintaan gencatan senjata saat ini hanya akan menjadi solusi sementara sampai Hamas memiliki tenaga lagi untuk melakukan serangan lainnya.

Artinya, perdamaian yang dituju bukanlah bersifat jangka panjang. Bahkan justru menyimpan bibit bom waktu yang berisiko terulangnya peristiwa 7 Oktober 2023 lalu.

Biden meminta kepada Israel penghormatan atas hukum humaniter atau hukum perang di Gaza.

Namun begitu, tetap terdapat kesamaan pandangan antara Biden dan negara-negara Arab serta negara-negara Muslim lainnya, terutama terkait solusi dua negara dalam mengakhiri konflik Israel - Palestina.

Sistem pertahanan rudal Israel yang disebut Iron Dome alias Kubah Besi menangkal roket-roket dari Jalur Gaza di Kota Ashkelon, sebelah selatan Israel, 8 Oktober lalu.REUTERS via BBC INDONESIA Sistem pertahanan rudal Israel yang disebut Iron Dome alias Kubah Besi menangkal roket-roket dari Jalur Gaza di Kota Ashkelon, sebelah selatan Israel, 8 Oktober lalu.
Kesamaan pandangan terkait "two states solution" tersebut harus menjadi landasan bersama antara dunia Arab dan negara-negara Muslim dalam menatap masa depan Palestina.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com