Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Reinterpretasi Hamas Kunci Perdamaian

Persoalannya terletak pada Hamas. Menghentikan serangan ke Gaza berarti memberi jeda kepada Hamas untuk bernapas, lalu menyusun ulang serangan roket selanjutnya ke Israel.

Pandangan ini tidak saja dipegang oleh pemerintah yang sedang berkuasa di Tel Aviv, tapi juga dipercayai dan diyakini oleh Joe Biden, Presiden Amerika Serikat.

Dalam opini editorialnya (op-ed) di The Washington Post pada 18 November 2023, Biden memberikan dukungan kepada Israel dalam menghancurkan kekuatan Hamas hingga ke akar-akarnya.

Menurut Biden, tak ada perdamaian di Gaza dan di Israel jika Hamas masih bekuasa di Gaza, karena Hamas akan selalu mendelegitimasi segala langkah Israel dan Amerika Serikat dalam menperjuangkan solusi dua negara (the two-state solution).

Bagi Hamas, layaknya Iran, Israel semestinya tidak ada. Jika terjadi perdamaian, maka wilayah Palestina harus seperti sebelum tahun 1967, yang sejatinya tidak mungkin lagi diwujudkan.

Sejatinya, pandangan semacam inilah yang membuat solusi dua negara menjadi tak pernah mungkin diwujudkan.

Artinya, negara-negara Arab yang terhimpun di dalam Liga Arab dan organisasi negara-negara Muslim semestinya tidak saja menuntut gencatan senjata, tapi juga mencari cara agar Hamas bisa sama-sama didelegitimasi keberadaannya.

Lalu memberi peran yang besar kepada Otoritas Nasional Palestina di Ramallah untuk mulai memimpin Gaza dan Tepi Barat, sebagai jalan awal direalisasikannya solusi dua negara.

Pandangan Biden tersebut sekaligus menjadi penolakan halus Gedung Putih atas permintaan negara-negara Muslim yang diwakili oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, baru-baru ini untuk memaksa Israel melakukan gencatan senjata.

Biden memandang, permintaan gencatan senjata saat ini hanya akan menjadi solusi sementara sampai Hamas memiliki tenaga lagi untuk melakukan serangan lainnya.

Artinya, perdamaian yang dituju bukanlah bersifat jangka panjang. Bahkan justru menyimpan bibit bom waktu yang berisiko terulangnya peristiwa 7 Oktober 2023 lalu.

Biden meminta kepada Israel penghormatan atas hukum humaniter atau hukum perang di Gaza.

Namun begitu, tetap terdapat kesamaan pandangan antara Biden dan negara-negara Arab serta negara-negara Muslim lainnya, terutama terkait solusi dua negara dalam mengakhiri konflik Israel - Palestina.

Kesamaan pandangan tersebut juga harus menjadi titik awal dalam menginterpretasi ulang posisi Hamas di tengah-tengah negara Arab dan negara-negara Muslim dunia.

Perbedaan mendasar sebenarnya ada di bagian ini, yang membuat Israel dan Amerika Serikat masih sulit untuk diajak berjalan bersama.

Nyatanya memang selama negara-negara Arab dan negara-negara Muslim seperti Indonesia masih menoleransi posisi garis anti-Israel versi Hamas, maka selama itu pula konflik akan terus berlangsung.

Toleransi tersebut menjadi legitimasi khusus bagi Hamas untuk terus menggelorakan ideologi anti-Israel bersama dengan perjuangan bersenjata dan mendelegitimasi keberadaan Otoritas Nasional Palestina beserta jalan diplomasi yang dipilihnya.

Negara-negara Barat, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat, begitu pula Israel dan beberapa negara lainnya di dunia, telah melabeli Hamas dengan status teroris.

Sehingga, apapun aksi Hamas yang mengatasnamakan perjuangan kemerdekaan Palestina akan berujung dengan bentuk serangan teroristik.

Jadi Barat dan Israel melihat "akibat" dan "bentuk" dari aksi Hamas, sementara negara-negara yang menoleransi Hamas justru melihat motif di balik aksi-aksi Hamas.

Dengan kata lain, sebagian besar negara-negara Arab dan negara Muslim menoleransi Hamas karena dianggap sebagai bagian dari perjuangan sah rakyat Palestina dalam mancapai kemerdekaan negara Palestina.

Walhasil, aspirasi untuk melumpuhkan Hamas tidak muncul di dalam pertemuan-pertemuan negara-negara Arab dan negara-negara Muslim lainnya.

Apalagi kini Iran, Suriah, Qatar telah semakin mendekat kepada negara-negara Arab, seperti Saudi Arabia dan Uni Arab Emirat (UAE).

Kondisi tersebut akan semakin mempersulit Liga Arab dan negara-negara Muslim dalam menyepakati suatu defenisi baru atas keberadaan Hamas.

Arab Saudi dan UEA akan menghindari topik Hamas dalam pembicaraannya dengan Iran dan Suriah, karena akan berpotensi merusak prospek perbaikan hubungan diplomatik antara negara-negara Arab dengan Iran dan Suriah.

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, Hamas kian hari kian berhasil dalam menjadikan dirinya sebagai proksi dalam konstelasi konflik geopolitik dan ketegangan strategis internasional.

Dalam ranah yang lebih luas, Hamas mendapat sokongan, baik langsung maupun tidak langsung, dari negara-negara non Arab yang berposisi berlawanan dengan Amerika Serikat, seperti Rusia dan China.

Celakanya, kedua negara besar tersebut sedang menjadi mitra strategis baru bagi Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, sejak Donald Trump tak lagi di Gedung Putih.

Tendensi diplomasi pemerintahan Biden yang sangat kritis kepada Riyadh membuat putra mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud (MBS) harus mencari mitra strategis dan geopolitis lain yang lebih bisa diandalkan. Mitra strategis tersebut adalah Rusia dan China.

Artinya apa? Artinya perdamaian Israel dan Palestina hanya bisa dicapai jika negara-negara besar yang berseteru secara geopolitik di tingkat global juga mencapai kesepakatan soal keberadaan Hamas.

Jika Rusia dan China bisa mengubah cara pandangnya atas Hamas, maka Rusia dan China akan berusaha mendekati negara-negara Arab lainnya untuk memiliki pandangan yang sama di satu sisi dan akan mendorong Iran untuk mengurangi kontribusinya terhadap Hamas.

Situasi hari ini berbeda dengan situasi pasca-nine eleven di mana China dan Rusia secara total mendukung Amerika Serikat dalam menghancurkan Al Qaeda sampai ke akar-akarnya.

Hal itu bisa terjadi karena China dan Rusia juga sedang berjibaku dalam melawan gerakan teroris di dalam negerinya.

Rusia menggunakan dalih Global War on Terrorism (GWOT) yang digelorakan Amerika Serikat untuk menghantam pemberontak Chenchen/Chechnya. Sementara China menggunakannya untuk menghancurkan sel-sel terorisme di Xinjiang.

Jadi situasi hari ini yang sudah tidak sama itu membuat kesamaan pandangan soal Hamas di atas hanya indah di atas kertas.

Masalahnya relasi Amerika Serikat dan Rusia sudah terlanjur sulit untuk diperbaiki. Keterlibatan aktif Amerika Serikat di Ukraina membuat Rusia merasa harus terlibat aktif juga di Palestina dengan cara menyokong Hamas dan organisasi sejenis.

Begitu pula dengan China. Ketegangan yang kian memanas antara Amerika Serikat dan China, baik terkait urusan pertahanan dan ketegangan militer di Asia Pasifik maupun dengan urusan perebutan dominasi ekonomi di kawasan Asia, akan membuat Amerika Serikat juga semakin kesulitan dalam menggandeng China untuk satu perahu dalam menyelesaikan masalah Hamas di Palestina.

Jadi pendeknya, Hamas memang sedang menikmati posisinya yang sangat krusial di dalam konstelasi geopolitik dunia di satu sisi dan di dalam konstelasi teknis perang Israel-Hamas di sisi lain.

Karena secara teknis, Hamas yang berlindung di tengah-tengah masyarakat sipil Gaza membuat segala bentuk serangan Israel ke Gaza menjadi senjata bermata dua, karena dipastikan akan terus membuat korban sipil berjatuhan.

Semakin Israel meningkatkan serangan untuk melemahkan Hamas, semakin banyak korban sipil yang akan berjatuhan.

Risikonya, dipastikan akan semakin besar gelombang penolakan dan kebencian dunia kepada Israel. Dan secara politik, hal itu akan menjadi kemenangan luar biasa bagi Hamas, sekalipun di tataran teknis Hamas digempur habis-habisan oleh Israel.

https://www.kompas.com/global/read/2023/11/22/100024470/reinterpretasi-hamas-kunci-perdamaian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke