GAZA, KOMPAS.com - Rumah Sakit Indonesia di kawasan Gaza utara kedatangan korban luka dan tewas terbanyak akibat serangan udara Israel ke pengungsian Jabalia, pada Selasa, 31 Oktober lalu.
Pengeboman yang menyebabkan 400 korban tewas dan luka itu digambarkan sebagai "hari kiamat" oleh seorang penyintas serangan tersebut.
Setidaknya 270 orang dilarikan ke Rumah Sakit Indonesia akibat serangan itu, kata Dokter Marwan Sultan, direktur medis di fasilitas kesehatan tersebut.
Baca juga: Rumah Sakit di Gaza Termasuk Milik Indonesia Alami Mati Listrik
Padahal, kata dia, rumah sakit yang dibangun dengan pendanaan dari Pemerintah Indonesia dan sumbangan warga Indonesia tersebut hanya memiliki 140 tempat tidur.
Situasi di Rumah Sakit Indonesia saat itu memburuk karena generator listrik kehabisan bahan bakar. Dua hari setelah pengeboman kamp pengungsian Jabalia atau pada 2 November lalu, rumah sakit itu kehilangan daya listrik.
"Konsekuensinya kami berhenti melakukan operasi terhadap pasien kecuali operasi itu untuk menyelamatkan nyawa," ujar Dokter Marwan kepada BBC.
"Bangsal pasien tidak dapat berfungsi. Kami mengandalkan obor kecil sementara pasien di unit perawatan intensif (ICU) menggunakan generator listrik kecil," kata Marwan.
Marwan berkata, ketika itu dia khawatir Rumah Sakit Indonesia memasuki tahap akhir dan tidak bisa beroperasi sama sekali.
Marwan menjelaskan, sebagian besar luka korban bervariasi, antara lain luka laserasi anggota tubuh bagian dalam dan pendarahan internal yang masif akibat tekanan darah tinggi yang terjadi secara instan.
Kepala Rumah Sakit Indonesia, Dokter Atef Kahlout, menuturkan hal serupa.
Dia berkata, gelombang kejut akibat serangan Israel itu terasa di rumah sakitnya, yang berjarak dua kilometer dari ledakan.
“Kami melihat jenis-jenis luka yang jarang terjadi,” kata Dokter Atef.
Berdasarkan observasi medis itu, dia yakin Israel menggunakan amunisi jenis baru saat melancarkan serangan udara ke Gaza.
Ketika ditanya tentang tuduhan penggunaan senjata ilegal, juru bicara militer Israel itu berkata, "Saya telah beberapa kali mendengar klaim yang dibuat para dokter. Saya dapat mengatakan dengan sangat jelas bahwa IDF tidak menggunakan amunisi yang bertentangan dengan hukum internasional," ujarnya.
BBC berbicara dengan sejumlah pakar. Mereka menyatakan, senjata yang digunakan Israel setidaknya memiliki daya ledak 226 kilogram. Namun para pakar itu tidak satu suara tentang jenis senjata tersebut.
Justin Bronk, peneliti di Royal United Services Institute, sebuah lembaga riset pertahanan dan keamanan berbasis di Inggris, menyebut kawah hasil ledakan Israel konsisten dengan dampak yang bisa ditimbulkan senjata jenis JDAM GBU-31.
Senjata ini memiliki bobot 900 kilogram dan dirancang untuk menembus atau menghancurkan sasaran yang terkubur, termasuk yang berada di bawah bangunan.