Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rully Raki
Dosen

Pemerhati Sosial dan Pembangunan

Jepang dan Falsafah Hidup yang Melampaui Piala Dunia

Kompas.com - 09/12/2022, 06:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

FOTO pelatih Jepang Hajime Moryasu yang membungkuk, memberi hormat di stadium Al-Janoub- Doha viral di media sosial.

Foto pada akun Twitter ESPN FC dengan judul Respect diunggah setelah tim Nippon kalah dari Kroasia melalui drama adu penalti, bersamaan dengan foto-foto tindakan tim Jepang dan para supoternya.

Foto-foto itu kemudian mendapat banyak like dan komentar hingga viral. Musababnya adalah perilaku yang tidak biasa dari kontingen Jepang.

Tindakan ini menambah sederet momen di luar kebiasaan yang terjadi dan menarik pada seputar Piala Dunia di Qatar.

Tindakan ini kemudian disebut dengan istilah soft power oleh Dr. P. Hartono dalam unggahannya di Facebook.

Soft power yang berasal dari tradisi dan kebudayaan sebagai sebuah falsafah yang sudah lama tertanam dan terus dipupuk sejak lama, tegas beliau.

Melihat hal ini, mungkinkah soft power ala Jepang ini dapat berpengaruh dan berdampak lebih luas melampaui ajang perebutan Piala Dunia?

Falsafah hidup konstruktif

Suporter Jepang bersih-bersih stadion.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Suporter Jepang bersih-bersih stadion.
Sejak perhelatan Piala Dunia 2022 dibuka, terutama di fase laga grup, tim Negeri Matahari Terbit ini selalu menjadi sorotan. Bukan hanya karena mereka berhasil menundukan tim-tim raksasa dari Eropa Jerman atau pun Spanyol, tetapi juga karena attitude mereka yang tidak biasa.

Pelatihya memberi hormat seteleh pertandingan selesai. Para suporter Jepang membersihkan stadion setelah pertandingan berakhir. Para pemain meninggalkan kamar ganti dengan rapi dan meninggalkan Origami burung bangau sebagai lambang keberuntungan bagi tim lain yang mungkin akan menggunakan ruang ganti itu, meskipun waktu itu mereka kalah.

Tindakan ini, tentu merupakan hal yang tidak biasa dipraktikkan di wilayah dan kebudayaan lain. Seorang teman yang bertugas di Jepang, cukup memberikan kesaksian yang mantap atas perilaku pelatih, pemain, dan suporter Jepang.

Melalui akun Facebook-nya, @frandy Lahurus, ia menulis, “Sedih karena kalah dalam pertandingan itu hal yang biasa, tapi kultur tetap menjaga kebersihan dunia di tengah kekalahan itu luar biasa.”

Eksistensi dari perilaku ini, tentu tidak terlepas dari kebudayaan dan falsafah hidup orang-orang Jepang.

Falsafah hidup yang dijadikan way of life mereka bisa dilihat dari beberapa tradisi mereka yang cukup mencolok dan terkenal dengan nilai-nilainya yang menjunjung harmonisasi antara kehidupan sosial dan ekologi.

Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kehidupan sosial di antaranya, tradisi memberi hormat dengan membukuk dan menundukan kepala atau Ojigi.

Etimologi Ogiji berasal dari kata jigi pada periode Edo (1603-1868) (Mulyadi, 2012). Tindakan ini melambangkan rasa hormat, menghargai, dan menganggap orang lain bukan musuh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com