FOTO pelatih Jepang Hajime Moryasu yang membungkuk, memberi hormat di stadium Al-Janoub- Doha viral di media sosial.
Foto pada akun Twitter ESPN FC dengan judul Respect diunggah setelah tim Nippon kalah dari Kroasia melalui drama adu penalti, bersamaan dengan foto-foto tindakan tim Jepang dan para supoternya.
Foto-foto itu kemudian mendapat banyak like dan komentar hingga viral. Musababnya adalah perilaku yang tidak biasa dari kontingen Jepang.
Tindakan ini menambah sederet momen di luar kebiasaan yang terjadi dan menarik pada seputar Piala Dunia di Qatar.
Tindakan ini kemudian disebut dengan istilah soft power oleh Dr. P. Hartono dalam unggahannya di Facebook.
Soft power yang berasal dari tradisi dan kebudayaan sebagai sebuah falsafah yang sudah lama tertanam dan terus dipupuk sejak lama, tegas beliau.
Melihat hal ini, mungkinkah soft power ala Jepang ini dapat berpengaruh dan berdampak lebih luas melampaui ajang perebutan Piala Dunia?
Pelatihya memberi hormat seteleh pertandingan selesai. Para suporter Jepang membersihkan stadion setelah pertandingan berakhir. Para pemain meninggalkan kamar ganti dengan rapi dan meninggalkan Origami burung bangau sebagai lambang keberuntungan bagi tim lain yang mungkin akan menggunakan ruang ganti itu, meskipun waktu itu mereka kalah.
Tindakan ini, tentu merupakan hal yang tidak biasa dipraktikkan di wilayah dan kebudayaan lain. Seorang teman yang bertugas di Jepang, cukup memberikan kesaksian yang mantap atas perilaku pelatih, pemain, dan suporter Jepang.
Melalui akun Facebook-nya, @frandy Lahurus, ia menulis, “Sedih karena kalah dalam pertandingan itu hal yang biasa, tapi kultur tetap menjaga kebersihan dunia di tengah kekalahan itu luar biasa.”
Eksistensi dari perilaku ini, tentu tidak terlepas dari kebudayaan dan falsafah hidup orang-orang Jepang.
Falsafah hidup yang dijadikan way of life mereka bisa dilihat dari beberapa tradisi mereka yang cukup mencolok dan terkenal dengan nilai-nilainya yang menjunjung harmonisasi antara kehidupan sosial dan ekologi.
Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kehidupan sosial di antaranya, tradisi memberi hormat dengan membukuk dan menundukan kepala atau Ojigi.
Etimologi Ogiji berasal dari kata jigi pada periode Edo (1603-1868) (Mulyadi, 2012). Tindakan ini melambangkan rasa hormat, menghargai, dan menganggap orang lain bukan musuh.