Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rully Raki
Dosen

Pemerhati Sosial dan Pembangunan

Jepang dan Falsafah Hidup yang Melampaui Piala Dunia

Kompas.com - 09/12/2022, 06:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahwa setiap kontingen tidak hanya datang untuk bermain dan menang. Mesti ada kemenangan sejati yang menjadi spirit dan terpatri sanubari setiap pemain, untuk sukses mencapai sesuatu yang baik, entah itu di dalam pertandingan maupun di luar pertandingan.

Sikap yang ditunjukan tim Jepang, menjadi contohnya. Bahwa mimpi dan cita-cita mereka untuk menjadi juara di Piala Dunia, tidak membuat mereka gelap mata.

Tidak ada tindakan menghalalkan segala cara untuk memenangkan setiap pertandingan. Malahan, melalui pertandingan ini mereka menunjukan bagaimana tindakan manusia berbudaya, punya rasa hormat dan menghargai setiap lawan yang mereka hadapi.

Bahwa apa pun yang dihadapi dan apa pun yang terjadi, serta di mana pun kita berada, ada falsafah hidup yang harus terus dihayati dan terus dipegang.

Itu menjadi kekhasan yang perlu terus dibawa. Dan ini yang memberikan diferensiasi antara orang beradab dan orang yang seolah beradab.

Dengan begitu, kompetisi di Piala Dunia sekali lagi bukan hanya soal piala, tetapi nilai-nilai apa yang harusnya muncul dari setiap momen, entah itu di dalam maupun di luar stadion pertandingan.

Selain nilai sportivitas atau pun fair play, mesti terus ada dan digaungkan nilai-nilai yang berkaitan dengan humanitas.

Lebih jauh, penghormatan, penghargaan bahkan menolong lawan di lapangan (termasuk lawan politik sekalipun), seperti tindakan pemain AS Antonee Robinson ketika memeluk Remin Rezian dari Iran, mestinya bisa muncul dari setiap pertandingan.

Nilai-nilai beserta makna di baliknya inilah yang membuat Piala Dunia bukan hanya sekadar menjadi pertandingan bola.

Ia mestinya menjadi momentum yang menunjukan bahwa setiap manusia, bahkah musuh sekalipun masih mempunyai nurani untuk memperlakukan sesamanya sebagai manusia.

Jika hal-hal ini yang terjadi, bahkan menjadi dasar pijakan refleksi kemanusiaan yang kemudian bisa terealisasi dalam laku nyata setiap hari manusia, maka bencana dan tragedi kemanusiaan seperti berbagai tindakan pelanggaran HAM, peminggiran hak hidup manusia akibat perkembangan sains dan teknologi, bahkan mereka yang mesti menderita karena menanggung patologi sosial akibat kemajuan masyarakat kontemporer atau pun akibat ekspansi pembangunan dan ekspolrasi alam tidak terjadi.

Bahkan dasar pijakan dan refleksi yang berasal dari falsafah hidup yang saling menghormati dan menghargai bisa menjadi senjata ampuh untuk menghentikan agresi militer atau peperangan yang masih terus terjadi, bahkan yang terjadi tidak begitu jauh dari Qatar, yakni di daerah di wilayah Timur Tengah.

Cahaya di Piala Dunia

Setelah kemenangan Arab atas Argentina dan Jepang atas Jerman, saya sedikit tertawa ketika seorang teman menulis di status Whatsapp-nya: “Arab dan Jepang Cahaya Asia.”

Teringat pelajaran sejarah, ketika propaganda politik Jepang di Perang Dunia II, yang salah satunya adalah Nippon Cahaya Asia.

Mungkin propaganda ini baru terwujud di saat Piala Dunia 2022, yang notabene dibuat di Asia. Bahwa Jepang benar-benar membawa seberkas cahaya untuk bangsa Asia, di kala mereka menang atas tim-tim besar Eropa dan dikompletkan dengan tindakan beradab pelatih, para pemain, dan suporternya meskipun mereka kalah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com