WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Presiden AS Joe Biden mengatakan, Washington tidak akan pernah mengakui upaya Rusia untuk mencaplok wilayah Ukraina.
Hal itu disampaikan Biden menjelang rencana pencaplokan resmi Rusia terhadap empat wilayah Ukraina setelah hasil referendum keluar.
Kremlin mengatakan bahwa empat wilayah Ukraina yakni Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson memilih untuk bergabung dengan Moskwa.
Baca juga: DK PBB Gelar Pemungtan Suara soal Resolusi Mengutuk Pencaplokan Rusia
Ukraina dan Barat menolak dan menyebut referendum tersebut tidak sah.
AS akan menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia sebagai akibat dari aneksasi tersebut, sebagaimana dilansir BBC, Jumat (30/9/2022).
“Amerika Serikat, saya ingin memperjelas tentang ini, tidak akan pernah, tidak akan pernah, tidak akan pernah mengakui klaim Rusia atas wilayah kedaulatan Ukraina,” kata Biden.
Pada Kamis (29/9/022), Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dua dekrit yang mengakui Zaporizhzhia dan Kherson sebagai wilayah merdeka.
Baca juga: Saluran Telepon Merah AS-Rusia: Sejarah, Rahasia, dan Perkembangannya Saat Ini
Pengakuan itu membuka jalan bagi Rusia untuk melakukan pencaplokan.
Media pemerintah Rusia mengatakan bahwa kemerdekaan kedua wilayah itu diakui sesuai dengan hukum internasional dan “diabadikan” dalam Piagam PBB.
Namun, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuturkan, setiap pencaplokan wilayah suatu negara berdasarkan penggunaan kekuatan melanggar Piagam PBB dan hukum internasional.
Dalam panggilan telepon dengan Putin, Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan juga menyatakan penentangannya terhadap rencana pencaplokan oleh Rusia.
Referendum di empat wilayah Ukraina yang diduduki Rusia tersebut berlangsung selama lima hari, dengan hanya sedikit pemberitahuan.
Baca juga: Jelang Pencaplokan Wilayah Ukraina oleh Rusia, Zelensky Gelar Rapat Darurat Keamanan
Rusia mengatakan, pemungutan suara dalam referendum adil dan menghasilkan kemenangan mutlak untuk bergabung dengan Rusia.
Tetapi tidak ada pemantau independen di sana. Selain itu, muncul sejumlah laporan tentang orang-orang yang diintimidasi tentara Rusia bersenjata untuk memilih.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, referendum tersebut tidak ada valid.
Sementara penasihat Zelensky, Mykhailo Podolyak, menyebut referendum itu sebagai kekerasan massal.
"Bayangkan, ada tank tentara pendudukan dan di rumah-rumah dan apartemen orang-orang yang belum pergi. Militer mengarahkan senjata otomatis ke wajah orang-orang dan mengatakan ‘pilih’,” kata Podolyak.
Baca juga: Putin Akui Ada Kekeliruan dalam Mobilisasi Parsial yang Picu Ribuan Warga Rusia Kabur
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.