JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir 2.500 mortir dari Serbia yang dibeli untuk badan mata-mata Indonesia tahun lalu dimodifikasi untuk dijatuhkan dari udara.
Menurut laporan dari kelompok pemantau senjata dan foto yang diberikan pada Reuters, beberapa mortir bahkan digunakan dalam serangan di delapan desa di Papua.
Dugaan pengadaan mortir oleh Badan Intelijen Negara (BIN), menurut tiga anggotanya pada Reuters, juga tidak diungkapkan kepada komite pengawasan DPR yang menyetujui anggarannya.
Baca juga: Wapres Minta TNI-Polri Pakai Pendekatan Humanis di Papua, Bukan Kekerasan
Kelompok pemantau yang berbasis di London, Conflict Armament Research (CAR), mengatakan mortir diproduksi pembuat senjata milik negara Serbia Krusik dan kemudian dimodifikasi untuk dijatuhkan dari udara, bukannya ditembakkan dari tabung mortir.
Dikatakan senjata yang dikirim ke BIN juga termasuk 3.000 inisiator elektronik dan tiga perangkat pengatur waktu yang biasanya digunakan untuk meledakkan bahan peledak.
Laporan Reuters menyebut, peluru mortir 81mm digunakan dalam serangan pada bulan Oktober lalu di desa-desa di Papua, yang dilaporkan dikuasai separatis bersenjata.
Reuters tidak dapat secara independen mengonfirmasi aspek-aspek tertentu dari laporan CAR, termasuk apakah BIN telah menerima kiriman tersebut.
Reuters juga tidak dapat menentukan siapa yang mengizinkan pembelian amunisi atau siapa yang menggunakannya di Papua.
Baca juga: Baleg DPR Setujui RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya
BIN dan Kementerian Pertahanan tidak menanggapi permintaan komentar tentang pembelian atau penggunaan mortir tersebut.
Panwaslu DPR akan menggelar sidang tertutup pekan depan dengan BIN, dan pembelian senjata akan dibahas, kata salah satu anggota komisi.
Tubagus Hasanuddin, mantan jenderal yang juga duduk di komite parlemen yang membawahi BIN, mengatakan bahwa badan intelijen dapat memperoleh senjata ringan untuk pertahanan diri agennya.
Meski begitu, setiap senjata kelas militer "harus untuk tujuan pendidikan atau pelatihan dan bukan untuk bertempur".
Baca juga: Beasiswa Mahasiswa Papua Barat Dibatalkan Tanpa Peringatan
"Kita perlu melakukan audiensi terlebih dahulu dengan BIN dan memeriksa alasannya. Setelah itu kita akan memeriksa legalitasnya," katanya.
Tidak ada yang terbunuh, meskipun rumah dan beberapa gereja terbakar, menurut seorang saksi dan penyelidik yang bekerja untuk delapan kelompok HAM dan gereja yang mendokumentasikan serangan tersebut.
BIN adalah lembaga sipil di bawah otoritas langsung Presiden Joko Widodo.