PADA tanggal 24 Februari, Presiden Rusia, Vladimir Putin mengumumkan pelaksanaan operasi militer khusus di Ukraina.
Menurut Rusia, alasan operasi militer khusus untuk menghentikan pembantaian terhadap masyarakat di wilayah Donbass yang telah berlangsung selama delapan tahun, serta untuk melakukan demiliterisasi dan mencegah wilayah Ukraina digunakan NATO untuk mengancam keamanan nasional Rusia.
Hal ini direspons oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Inggris serta beberapa negara lain melalui penerapan sanksi bagi entitas dan individu Rusia.
Dalam kurun waktu satu bulan sejak saat itu, Rusia telah menerima lebih dari 5000 sanksi baru (Data Castellum.AI) yang menjadikan Rusia sebagai negara penerima sanksi terbanyak di dunia saat ini, melebihi jumlah sanksi yang diberikan kepada Iran, Suriah maupun Korea Utara.
Sanksi yang diterapkan kepada entitas dan individu Rusia meliputi sanksi keuangan dan perbankan (pembekuan aset Bank Sentral Rusia, pengeluaran 7 bank Rusia dari sistem SWIFT), larangan ekspor-impor untuk produk tertentu (dual-use & luxury goods, migas, dll), pembatasan investasi serta penutupan wilayah udara dan akses masuk.
Tidak hanya itu, sejumlah perusahaan multinasional seperti Visa, Mastercard, Apple, McDonald’s, Zara dan lain-lain juga telah menghentikan sementara aktivitas bisnisnya di Rusia.
Sanksi unilateral yang diterapkan oleh negara-negara Barat tersebut bertujuan melemahkan perekonomian Rusia dengan mengisolasi Rusia dari sistem perekonomian global.
Perusahaan jasa keuangan asal Amerika Serikat, JP Morgan memperkirakan perekonomian Rusia akan mengalami kontraksi sebesar 7 persen pada tahun 2022.
Di sisi lain, pemerintah Rusia percaya bahwa perekonomian Rusia akan sanggup melewati dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sanksi tersebut, karena Rusia telah mengembangkan substitusi impor pada berbagai sektor serta memiliki mitra dagang lain selain negara-negara Barat.
Pemerintah Rusia memang telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dampak sanksi dimaksud.
Pada tanggal 8 Maret, Presiden Vladimir Putin menandatangani dekrit larangan ekspor untuk lebih dari 200 jenis produk yang sebelumnya diimpor oleh Rusia dari luar negeri, termasuk alat kesehatan, telekomunikasi, pertanian, kendaraan dan peralatan elektronik lainnya, yang berlaku hingga akhir Desember 2022.
Pada tanggal 23 Maret, Pemerintah Rusia juga mengeluarkan kebijakan untuk menerima pembayaran ekspor gas alam ke Uni Eropa dalam mata uang Rubel Rusia.
Setelah kebijakan ini diumumkan, terlihat penguatan kembali nilai tukar Rubel terhadap Dollar AS dan Euro.
Seperti yang kita ketahui, penerapan sanksi kepada Rusia juga menimbulkan dampak pada perekonomian global.
Rusia merupakan negara pengekspor gas alam terbesar di dunia dengan volume 8,9 triliun kaki kubik per tahun dan negara pengekspor minyak kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi dengan ekspor 4,7 juta barel per hari (Data OECD).