Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2020, 11:43 WIB
Ericssen,
Miranti Kencana Wirawan

Tim Redaksi

WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Dua minggu telah berlalu sejak calon presiden (capres) Partai Demokrat Joe Biden dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020.

Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda presiden petahana Donald Trump akan mengakui kekalahannya dari Biden.

Yang ada, Trump terus-menerus mengklaim dia adalah pemenang pemilu dan telah terjadi kecurangan terstruktur, masif, dan sistematis berskala besar.

Tim kampanye Trump mengajukan gugatan di sejumlah swing states meminta agar pengadilan negara bagian memberikan kemenangan kepada presiden berusia 74 tahun itu.

Bahkan baru-baru ini Trump mengundang pejabat legislatif Michigan ke Gedung Putih melobi mereka supaya memengaruhi electors di electoral college agar tidak memilih Biden yang memenangkan negara bagian Rust Belt itu.

Baca juga: Tolak Tuduhan Trump dalam Pemilu, Anggota Partai Republik Ini Dapat Ancaman Pembunuhan

Tradisi Demokrasi AS

Tindak-tanduk Trump sangat luar biasa karena belum ada capres dalam sejarah politik AS yang menolak mengakui kekalahan apalagi mencoba mengubah hasil pilpres.

Mengakui kekalahan adalah tradisi demokrasi AS yang telah dijaga tidak terputus sejak 220 tahun lalu atau tepatnya pada pilpres tahun 1800, 24 tahun setelah kemerdekaan negeri “Paman Sam”.

Presiden ketika itu John Adams yang gagal memenangkan periode kedua mengakui kekalahannya secara terbuka dari lawannya Wakil Presiden Thomas Jefferson.

Seiring berkembangnya zaman, capres AS mulai menggunakan teknologi yang paling pesat untuk mengakui kekalahan.

Capres Demokrat mantan anggota DPR dari Nebraska William Jennings Bryan adalah yang pertama menggunakan telegram pada pilpres 1896.

Baca juga: Biden Terkendala Susun Rencana Tangani Pandemi Covid-19 karena Sikap Trump

Pada pilpres 1928, capres Demokrat Gubernur New York Al Smith menjadi yang pertama menggunakan radio.

Siaran televisi langsung yang menjadi metode paling umum digunakan saat ini pertama sekali dilakukan oleh capres Demokrat Gubernur Illinois Adlai Stevenson pada pilpres 1956.

Capres yang kalah biasanya akan menelepon capres pemenang untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan ucapan selamat secara pribadi sebelum tampil di panggung menyampaikan pidato kekalahan.

Pidato kekalahan adalah momen politik bagi capres untuk menyampaikan pidato pamungkasnya sekaligus menekankan kalah dan menang dalam kompetisi adalah biasa.

Capres yang kalah akan meminta pendukungnya untuk menerima hasil pilpres dan mendukung presiden terpilih agar sukses memimpin negara.

Baca juga: Joe Biden Kecam Trump sebagai Presiden Paling Tidak Bertanggung Jawab dalam Sejarah Amerika

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com