Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

"Bullying" dan Budaya Literasi

Kompas.com - 10/03/2024, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini masalah bullying (perundungan) kembali menjadi trending topic di media setelah mencuatnya kejadian di beberapa sekolah dan pesantren elite yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Terbayang bagaimana hancur dan tersayatnya jiwa orangtua si korban, yang berharap anaknya kembali dengan membawa ilmu pengetahuan, malah pulang sudah menjadi mayat dengan penuh luka dan lebam karena disiksa teman-temannya sendiri.

Peristiwa tersebut seolah sudah menjadi rutinitas tahunan, tetapi sampai hari ini belum ada penanganan serius dan komprehensif, mencari akar masalahnya dan bagaimana solusinya.

Bahaya sekali apabila bullying dianggap sebagai kenakalan remaja biasa, karena dampak dan efeknya bukan saja akan mencoreng dunia pendidikan, tetapi juga menjadi preseden buruk pada modal sosial bangsa Indonesia.

Tentu saja banyak faktor yang mengakibatkan perilaku bullying oleh peserta didik, di antaranya yang paling mendasar adalah buruknya ekosistem pendidikan, krisis keteladanan, dan kualitas serta kuantitas pengajar.

Dalam tulisan ini saya akan membahas faktor lain yang jarang dibahas, yaitu rendahnya budaya literasi peserta didik, yang menurut saya justru paling fundamental.

Bullying yang terjadi di sekolah dan pesantren elite seolah menegasikan peran infrastruktur. Kemegahan infrastruktur sekolah atau pesentren belum tentu menjadi jaminan kualitas pengajaran.

Namun mayoritas orangtua justru menjadikan kemegahan infrastruktur salah satu indikator kualitas lembaga pendidikan karena itulah yang kasat mata.

Biaya yang mahal juga seolah menjadi jaminan, karena sering kali dianalogikan dengan membeli barang, “harga tidak akan berdusta.”

Namun bullying juga sering terjadi di lembaga pendidikan yang infrastrukturnya sangat sederhana, bahkan seadanya. Namun, tidak bisa juga dijadikan pembenaran dengan anggapan bahwa yang megah saja seperti itu, apalagi yang kumuh.

Jadi potensi bullying atau kekerasan bisa terjadi dalam lingkungan apa saja, maka di sinilah pentingnya ekosistem yang bagus.

Peserta didik juga sangat sulit untuk mencari teladan di lingkungan terdekatnya. Ada peribahasa yang popular di masyarakat kita, “al-ummu madrasah al-ula, idza a'dadtaha a'dadta sya'ban tayyiban al-a'raq.”

Artinya ibu adalah sekolah pertama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

Dalam kenyataannya peran Ibu sebagai madrasah/sekolah bagi anak-anaknya kini sudah pudar. Ibu berperan hanya sebagai ATM saja.

Mereka banyak kehilangan sentuhan manusiawi yang tulus dari ibu dan bapaknya, para senior, dan para pengajar.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com