Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Johannes Sutanto (Gendhotwukir)
Swasta

Penikmat sastra dari Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM). Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin, Jerman dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta.

Urgensi Manajemen Krisis di Lembaga Pendidikan Formal

Kompas.com - 11/12/2023, 10:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMAJUAN teknologi telekomunikasi dan media komunikasi di era revolusi industri 5.0 saat ini membuat organisasi apapun dan di mana pun tidak lagi gampang menyembunyikan atau menutup-nutupi isu negatif organisasi dari perhatian publik.

Isu negatif organisasi dapat dengan mudah menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam hitungan milidetik hingga zeptodetik yang berdampak pada penanganan krisis menjadi semakin tidak gampang.

Lelet alias lamban dalam menangani krisis, yakni dengan membiarkan krisis berkembang liar tanpa kendali tentu saja merupakan keputusan yang tidak bijak untuk citra dan reputasi organisasi.

Pun di ranah dunia pendidikan, pada dasarnya lembaga pendidikan formal juga bukan organisasi yang kebal krisis.

Krisis bisa muncul tanpa peringatan dan dengan cepat mengguncang dan menggagapkan institusi PAUD, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga Perguruan Tinggi.

Terlebih saat ini isu negatif dan insiden berujung krisis yang mendera lembaga pendidikan formal makin beragam.

Bicara soal data, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejak Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran pada perlindungan anak di klaster pendidikan, dengan rincian korban perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, dan anak korban kekerasan seksual 487 kasus.

Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memperlihatkan kasus perundungan di lingkungan sekolah pada periode Januari-Agustus 2023, paling banyak justru terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi mencapai 25 persen dari total kasus.

Sementara itu, terkait tiga dosa besar perguruan tinggi mulai dari kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi yang naik siginifikan, Kemendikbudristek mencatat dosa kekerasan seksual ternyata menjadi kasus yang paling sering dan banyak terjadi di perguruan tinggi.

Tragisnya, data dari kasus-kasus di lembaga pendidikan formal ini masih sebatas fenomena gunung es, karena sejatinya masih banyak kasus yang tidak teradukan dan terungkap dengan berbagai dalih di baliknya.

Namun perlu dicatat di sini, selihai-lihainya menutupi isu negatif dan borok lembaga pendidikan formal di era digital saat ini, sebenarnya langkah protektif ini hanyalah bom waktu untuk bencana pada masa depan.

Sekali saja ada yang speak up atau bahasa gaulnya spill di media sosial, bencana atau krisis lembaga pendidikan formal itu sudah di depan mata karena "keganasan dan kegarangan" warga netizen +62.

Krisis internal dan eksternal

Sumber krisis yang bermula dari suatu isu dan insiden dapat berasal baik dari internal maupun eksternal lembaga pendidikan formal, sehingga hal ini mengemblemkan realitas bahwa setiap lembaga pendidikan sejatinya rentan terhadap potensi krisis.

Mengacu pada isu atau insiden yang berasal dari faktor-faktor di dalam lembaga pendidikan formal (internal), Andrew Griffin (2014) dalam bukunya “Crisis, Issues, and Reputation Management" mengelaborasi secara terperinci faktor-faktor penyebabnya mulai dari konflik internal, pelanggaran kebijakan, masalah budaya organisasi, permasalahan sumber daya hingga kinerja buruk organisasi.

Sementara itu faktor-faktor penyebab secara eksternal dijelaskannya secara gamblang mulai dari perubahan regulasi, perubahan pasar, perubahan sosial-politik, fluktuasi mata uang hingga krisis ekonomi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com