Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM: Pemilu 2024 Minim Konflik, Ini Alasannya

Kompas.com - 28/10/2023, 20:29 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber UGM

KOMPAS.com - Pada Februari 2024 mendatang, bangsa Indonesia akan menghelat pesta demokrasi. Tentu, rakyat akan menentukan siapa pemimpin bangsa Indonesia pada Pilpres 2024.

Jelang masa 100 hari sebelum penyelenggaraan pemilu 2024, para elite politik sudah melakukan berbagai manuver.

Apalagi pada Pilpres 2024, calon presiden sudah mengumumkan siapa saja wakilnya. Dan itu juga menjadi perbincangan hangat di tanah air.

Meski suasana politik mulai memanas, sejumlah pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) sepakat bahwa pemilu kali ini terasa berbeda.

Baca juga: Pemilu 2024, Dosen Undiksha: Pemilih Pemula Masih Perlu Diarahkan

Menurut Dr. Riza Noer Arfani, M.A., dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, polarisasi kemungkinan besar tidak akan sedahsyat dua pemilu sebelumnya, dan potensi konflik horizontal maupun vertikal pun relatif kecil.

"Kemungkinan polarisasi yang ekstrem hampir tidak ada. Apalagi pada pemilu legislatif, relatif tidak menghasilkan konflik di level grassroot," ujarnya dalam kegiatan Pojok Bulaksumur yang berlangsung Jumat (27/10), seperti dikutip dari laman UGM.

Ia mengatakan bahwa potensi konflik lebih kecil. Berbeda dengan sebelumnya, euforia masyarakat terhadap digitalisasi menurutnya sudah cukup stabil.

Seiring dengan semakin meningkatnya literasi terhadap teknologi dan media digital, masyarakat menurutnya sudah lebih bisa memilah informasi yang mereka peroleh melalui media.

"Orang sudah tidak benar-benar percaya dan mengandalkan media, sehingga potensinya lebih kecil," tutur Riza.

Sementara Dr. Abdul Gaffar Karim, M.A., dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM menambahkan, pada pemilu 2014 dan 2019, pertarungan dukungan dan polarisasi telah mulai memanas jauh hari sebelum pemilu berlangsung.

Baca juga: Seminar FH UAD: Pemilu 2024 Harus Lahirkan Pemimpin Berkeadilan

Hal ini, menurutnya, tidak tampak pada pemilu kali ini. "Sekarang tidak seperti itu, jadi mungkin akan lebih tenang dibandingkan tahun 2014," terangnya.

Terkait politik dinasti

Pada kesempatan itu, kedua pakar UGM memberikan pandangan mereka terhadap berbagai isu seputar pemilu, mulai dari kemungkinan pemilu presiden berlangsung dalam dua putaran, signifikansi peran dari pimpinan partai politik, hingga politik dinasti.

Gaffar mengungkapkan bahwa fenomena demikian sebenarnya dapat ditemui di banyak negara dan di berbagai era.

Politik dinasti, terangnya, terjadi ketika kesempatan dan pengalaman langsung untuk mempelajari politik dinikmati oleh keturunan dari mereka yang memang telah berkecimpung di dunia politik.

Meski hal ini sendiri merupakan sebuah privilese, menurutnya isu yang perlu menjadi perhatian lebih terletak pada bagaimana proses menuju kandidasi berlangsung.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com