Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muzakki Bashori
Dosen

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dan doktor di bidang linguistik terapan dari Radboud University Nijmegen, Belanda

Merdeka Berbudaya Melalui Partikelir

Kompas.com - 14/04/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI KELAS mata kuliah Konservasi Sosial, seorang dosen bertanya secara acak kepada beberapa mahasiswa,"Apakah Anda tahu folklor atau cerita rakyat dari daerah Anda?"

Sang mahasiswa hanya terdiam, tampak bingung harus menjawab apa. Sedangkan mahasiswa yang lain tidak bisa merespons dengan baik.

Kejadian tersebut lantas mengingatkan sang dosen pada sebuah observasi lapangan di salah satu sekolah se-tingkat SMP dan satu SMK di Jawa Tengah sekitar tahun 2011/2012 dan 2014/2015.

"Apakah kalian tahu atau pernah mendengar cerita Cinderella? Coba angkat tangan apabila kalian tahu," begitu kira-kira tanya sang dosen kepada peserta didik di dua sekolah tersebut. Sebagian besar dari mereka angkat tangan.

"Lalu, bagaimana dengan cerita Snow White?" tanya sang dosen, lagi.

Respons mereka kurang lebih sama. Sebagian besar tahu atau setidaknya pernah mendengar cerita tersebut.

Namun, respons yang jauh berbeda diperoleh manakala sang dosen menanyakan beberapa cerita rakyat asli dari daerah tersebut.

Secara mengejutkan, tidak lebih dari 10 persen peserta didik yang disurvei mengetahui folklor lokal yang ada di daerah mereka!

Padahal, sebagai salah satu produk sastra lisan dan kearifan lokal, folklor dipercaya memiliki nilai-nilai sosial dan pesan-pesan kebaikan yang indah, timeless (tidak lekang oleh waktu), dan bermanfaat untuk memanusiakan manusia.

Kilas balik dan refleksi sekira 10 tahun tersebut dituangkan oleh sang dosen dalam diskusi mengenai folklor di kelas mata kuliah Konservasi Sosial.

J. Danandjaja dalam Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (1984) mengungkapkan bahwa folklor dapat diidentifikasi atau dikenali melalui ciri-ciri sebagai berikut: penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan, bersifat tradisional, ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda, bersifat anonim, biasanya memiliki bentuk berumus, mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama kolektifnya, bersifat pralogis, milik bersama (kolektif), dan pada umumnya bersifat polos dan lugu.

S. Y. Sudikan dalam Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi (2013) menyebutkan beberapa bentuk folklor lisan antara lain ragam tutur rakyat, ungkapan tradisional (pepatah, peribahasa, pameo), teka-teki, puisi rakyat (gurindam, pantun, syair), dan cerita prosa rakyat (legenda, mite, dan dongeng).

Tampaknya folklor atau cerita rakyat lokal saat ini – entah sengaja atau tanpa disadari – sudah ditinggalkan dan tidak banyak digemari.

Lemahnya generational folklore transmission atau transmisi folklor antargenerasi mewabah hingga mewujud menjadi sebuah ‘endemi sastra lokal’.

Folklor berupa cerita rakyat nusantara sebagai bedtime stories (cerita pengantar tidur) pun sudah sangat jarang dibacakan atau diceritakan bagi anak-anak di keluarga-keluarga modern dewasa ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com