Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Senior IPB: Regulasi Keamanan Pangan Tak Boleh Diskriminatif

Kompas.com - 16/09/2022, 06:28 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Peneliti Senior Seafast Center LPPM IPB, Prof. Purwiyatno Hariyadi mengatakan, regulasi keamanan pangan diskriminatif yang hanya diberlakukan pada satu produk tertentu saja bukan prinsip regulatory yang baik.

Menurutnya, hal itu bisa menyebabkan tujuan dari kebijakan yang mau dibuat itu tidak tercapai.

Baca juga: LTMPT: Kami Tak Lagi Jadi Pelaksana Seleksi Masuk PTN

Hal itu disampaikannya menanggapi wacana revisi kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mau mewajibkan pelabelan berpotensi mengandung BPA hanya pada produk kemasan galon guna ulang saja.

Baru-baru ini BPOM mengadakan sarasehan yang disebut sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui regulasi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) di Medan, Sumatera Utara.

BPOM mengatakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kemasan AMDK galon guna ulang, ditemukan migrasi BPA yang sudah di atas batas ambang yang membahayakan kesehatan.

Dia mengaku, penelitian yang dilakukan kepada produknya saja belum cukup untuk menyimpulkan bahwa itu membahayakan bagi kesehatan.

"Kalau kita bicara mengenai risiko keamanan pangan maka landasannya adalah bukannya ada atau tidak ada bahaya dalam hal ini BPA dalam produknya, tetapi seberapa besar paparan atau exposure BPA tersebut terhadap masyarakat," ucap dia dalam keterangannya, Kamis (15/9/2022).

Dia mengutarakan, kebijakan terkait pelabelan BPA ini termasuk regulatory science yang harus mempertimbangkan berbagai faktor.

Di antaranya faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain, termasuk aspek politik juga bisa masuk di sana.

Baca juga: SBMPTN Jadi Seleksi Nasional Berdasarkan Tes, Ini Aturan Barunya

"Makanya, ketika kita basisnya paparan, maka semua potensi paparan itu harus dihitung, harus dicek. Jadi misalnya masyarakat kita itu berpotensi terpapar BPA, itu harus diteliti juga dari mana saja BPA itu berasal. Karena kurang bermakna juga kalau yang ditekankan itu hanya potensi paparannya saja," jelas dia.

Karena, menurutnya, ujung dari mengatur risiko itu adalah mengurangi risiko terpapar terhadap bahaya yang didentifikasi tersebut.

"Jadi, penelitiannya harus lengkap agar efektif dan efisien. Karena, kalau hanya parsial, bisa jadi tujuan dari kebijakan itu tidak tercapai," ungkap pria yang juga pernah jadi Vice-Chair Codex Alimentarius Commission (CAC).

Jadi, tegasnya, yang diteliti itu bukan jumlah BPA pada produk, tetapi jumlah BPA yang masuk ke dalam tubuh.

"Dan itu juga, yang diuji seharusnya tidak hanya BPA yang ada pada produk AMDK saja, tapi semua kemasan pangan lain yang juga ber-BPA," ungkap dia.

Dia mengatakan, bahwa melakukan kajian risiko kepada masyarakat itu sesuai dengan amanat PP No.86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com