Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aksi Lawan Klitih lewat Jogja Gelut Day, Ini Kata Sosiolog Unair

Kompas.com - 25/07/2022, 10:41 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Turnamen Jogja Gelut Day yang diinisiasi oleh salah satu vokalis band di Indonesia serta komunitas Mix Martial Art Yogyakarta muncul dari keresahan masyarakat terhadap tindakan klitih yang membahayakan keamanan.

Fight club itu mewadahi anggota atau mantan klitih untuk turut serta dalam turnamen tersebut.

Dosen Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu menanggapi, Fight Club Jogja atau Jogja Gelut Day diinisiasi oleh kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap fenomena klitih.

Kelompok sosial tersebut terdiri dari sosok atau figur masyarakat yang berpengaruh dan dapat menggerakkan masyarakat untuk kebaikan dan ketertiban masyarakat.

Baca juga: 5 Ciri Orang Cerdas Bukan Hanya Dilihat dari IQ, Kamu Punya Ciri-cirinya?

“Dengan demikian, ide kreatif dan inisiatif Jogja Gelut Day dapat dikatakan sebagai salah satu saluran upaya melakukan kontrol sosial terhadap perilaku yang cenderung menyimpang dari remaja yang memiliki kecenderungan mudah tersulut dan melakukan tindakan tawuran yang membahayakan orang lain,” ujarnya sepeti dikutip dari laman Universitas Airlangga.

Tak hanya hukuman

Tuti menilai bahwa adanya Jogja Gelut Day dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja klitih.

Kemungkinan itu bisa terjadi bila terdapat inisiator dan penggerak fight club yang merangkul remaja klitih untuk ikut serta dalam turnamen tersebut.

Selain itu, dengan memberikan apresiasi serta ruang bagi remaja dalam hal positif dapat mengurangi perilaku agresif klitih.

“Dalam teori kontrol sosial, hal tersebut merupakan bagian dari upaya mengajak mereka (klitih) untuk terlibat pada kegiatan positif, dan mendidik untuk memiliki komitmen terhadap apa yang mereka tekuni,” katanya.

Baca juga: Psikolog: Karakter Anak 80 Persen Terbentuk dari Pengasuhan Orangtua

Terlebih, lanjut dia, jika remaja diberikan hukuman tanpa memberikan ruang berekspresi dengan persoalan yang dihadapinya, maka fenomena klitih akan terus ada.

Menghadapi usia tertentu, khususnya remaja, selain harus memahami persoalan psikologis, secara sosiologi, mereka adalah kelompok masyarakat yang cenderung mempercayai norma dan disosialisasikan oleh kelompok mereka sendiri.

“Dalam konteks ini, mereka adalah subkultur yang ada di masyarakat, di mana terkadang jika mereka mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma menyimpang, (mereka) akan menjadi subkultur menyimpang,” imbuhnya.

Terkait dengan kemunculan Jogja Gelut Day akibat kurang efektifnya aparat keamanan, Tuti mengungkapkan bahwa persoalan menjaga ketertiban sosial merupakan tanggung jawab bersama masyarakat.

“Justru dengan hadirnya Jogja Gelut Day menunjukkan keberfungsian civil society yang berasal dari kelompok sosial yang memiliki kepedulian tertib masyarakat. jika semua masalah sosial semuanya dibebankan pada aparat keamanan, saya rasa akan menjadi beban berat juga bagi mereka,” ujarnya.

Baca juga: Tanpa Hukuman, Ini Cara Sukses BPK Penabur Latih Kedisiplinan Siswa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com