Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Hentikan Kekerasan di Sekolah Sekarang Juga!

Kompas.com - 21/07/2022, 09:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MESKIPUN UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak telah diberlakukan sejak lama, kekerasan dalam pendidikan (bullying) secara beruntun masih terjadi.

Setelah kasus anak SD di Jambi yang kakinya retak karena dikeroyok temannya (Kompas.com, 19 Juli 2022), kini menyusul anak SD di Tasikmalaya meninggal pascadipaksa teman-temannya menyetubuhi kucing (Kompas.com, 20 Juli 2022).

Baca juga: Bocah SD di Tasikmalaya Meninggal Usai Dipaksa Teman-temannya Setubuhi Kucing Sambil Direkam

Kekerasan terhadap anak di sekolah tak lepas dari faktor budaya. Masyarakat beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari upaya mendisiplinkan anak.

Dalam praktik sehari-hari, guru menghukum murid yang dianggap melanggar aturan sekolah dengan cara-cara yang mencederai fisik, emosi dan mental anak.

Misalnya, meminta anak berdiri di depan kelas, berdiri di bawah terik matahari, lari keliling lapangan sepakbola, diteriaki atau meneriakinya, hingga menyuruh siswa bersangkutan membersihkan kamar mandi.

Padahal seringkali hukuman tersebut tidak berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan anak.

Hukuman semacam ini merupakan pendisiplinan yang negatif, sangat potensial menimbulkan perasaan tersiksa pada diri anak. Sekolah terkesan menjadi lembaga yang menakutkan dan jauh dari nilai-nilai pengasuhan.

Apa yang menyebabkan anak-anak melakukan kekerasan kepada anak lainnya? Apakah suasana di ruang-ruang kelas sudah sedemikian menekan sehingga para siswa menjadi stres dan mengakibatkan mereka melakukan perbuatan menyimpang untuk menghilangkan trauma dan rasa tertekan mereka?

Bisakah sekolah mewujudkan suasana belajar yang menyenangkan dan ramah bagi anak?

Sekolah ramah anak dan pengasuhan disiplin positif

Anak-anak memerlukan suasana yang aman dan nyaman bagi dirinya. Dalam suasana yang aman dan nyaman, anak-anak diharapkan mampu tumbuh baik dari segi sosial, emosional, moral dan intelektual.

Suasana seperti itu bisa tercipta dalam sekolah yang ramah bagi anak dan model pengasuhan disiplin positif.

Apa yang dimaksud sekolah ramah anak (SRA) dan pengasuhan disiplin positif (Dispo)?

Sekolah ramah anak diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) sejak beberapa tahun yang lalu.

Sekolah ramah anak dimaksudkan sebagai sekolah yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab.

Prinsip utama adalah nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, serta penghargaan terhadap anak.

Sebagaimana dalam bunyi pasal 4 UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh kembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan kesempatan berpartisipasi.

Disebutkan di atas salah satunya adalah berpartisipasi yang dijabarkan sebagai hak untuk berpendapat dan didengarkan suaranya.

Sedang pengasuhan disiplin positif adalah sebuah pendekatan yang dalam mendisiplinkan dan membangun karakter anak tanpa menghukum.

Karena tidak memberikan hukuman, dalam disiplin positif ada kebebasan, namun ada pula pembatasan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com