Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Hukumnya Bagi-bagi THR? Ini Kata Pakar Unair

Kompas.com - 30/04/2022, 15:37 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Budaya mudik atau pulang kampung bagi masyarakat Indonesia menjelang lebaran sudah menjadi tradisi setiap tahun.

Wajar saja, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, membuat perayaan hari raya umat Islam tersebut seakan-akan menjadi perayaan nasional.

Saat pergi ke kampung halaman, tentunya tak lengkap apabila tidak mengunjungi sanak saudara dan teman-teman lama.

Selain mudik, budaya yang tampak melekat dengan lebaran, yaitu bagi-bagi uang atau Tunjangan Hari Raya (THR) kepada anak-anak kecil di kampung halaman.

Baca juga: Biar THR Tidak Cepat Habis, Dosen UM Surabaya Beri Tips Ini

Maka tak heran, jika pulang kampung bagi para perantau bakal berat di ongkos. Biasanya, THR diisi dengan nominal kecil, mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 20.000.

Fenomena itu dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang beralih profesi dadakan menjadi penjaja jasa penukaran uang di pinggir jalan.

Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Unair), Irham Zaki mengomentari fenomena tersebut.

Menurutnya, budaya bagi-bagi THR merupakan hal yang baik bahkan dianjurkan karena sebagai wujud membagi kebahagian saat hari raya.

Namun, baginya, hal ini boleh terlaksana dengan catatan tidak memberatkan diri hingga harus berhutang.

“Dalam Islam hal itu disebut Takalluf, ya, atau membebani diri sendiri, tentu saja hal yang tidak boleh,” ujar Zaki dilansir dari laman Unair.

Mengenai fenomena jasa penukaran uang di pinggir jalan, ia mengkhawatirkan hal itu bisa menjerumuskan masyarakat dalam riba fadhl yang tentunya diharamkan oleh agama.

Baca juga: Pakar Gizi UB: 4 Tips Makan Enak Tanpa Takut Kolesterol Selama Lebaran

Secara sederhana, riba fadhl merupakan kegiatan jual beli atau pertukaran barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda.

Hal ini mengingat sistem penukaran uang tersebut di design dengan mengurangi lima hingga sepuluh persen dari uang yang ditukarkan lalu dikemas dalam kemasan plastik.

Selanjutnya, Zaki pun mengomentari bahwa fenomena ini lumrah terjadi karena jasa penukaran resmi yang disediakan bank masih tergolong sulit dijangkau.

Ia mengatakan, masyarakat dapat tetap menggunakan jasa ini, namun dengan akad yang benar, yaitu ijarah atau sewa menyewa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com