Apakah kamu pernah melihat lingkungan kerja dengan persaingan yang tidak sehat di mana rekan kerja saling berlomba untuk mendapat promosi, namun dengan cara dengan menjatuhkan satu sama lain?
Mengerikan sekali, ya, lingkungan kerja yang seperti itu. Sebagai seorang pemimpin khususnya di sebuah perusahaan, terdapat kemungkinan bahwa kita akan menjumpai anggota tim yang beranggapan bahwa ia tengah bersaing dengan rekan kerjanya. Padahal, sebagian besar orang-orang yang berada di sebuah perusahaan tidaklah sedang berkompetisi, melainkan sedang berjalan menuju satu tujuan yang sama.
Jika kita telusuri lebih lanjut, maka kita akan menemukan bahwa sifat kompetitif yang tidak sehat ini berakar dari scarcity mentality. Hmm, apa sih yang dimaksud dengan scarcity mentality? Apa pentingnya untuk dipelajari?
Pada artikel pertama dalam seri “Conscious Leadership” ini, kita akan membahas tuntas apa yang dimaksud dengan scarcity mentality, juga pola pikir yang dapat memeranginya, yakni abundance mentality.
Diharapkan, dengan mempelajari mengenai kedua pola pikir tersebut, kamu akan dapat menganalisis diri sendiri dan orang lain, menangani pola pikir scarcity mentality yang dapat memberikan hambatan bagi kemajuan, dan mengadopsi cara berpikir abundance mentality yang akan membawakan lebih banyak kebahagiaan dan ketenangan.
Setiap manusia memiliki cara pandang terhadap kehidupan yang terbentuk dari pelbagai faktor yang kompleks.
Scarcity mentality singkatnya adalah cara berpikir yang didasari oleh ketakutan. Ketakutan bahwa nantinya kita akan kehabisan sumber daya atau modal (resource). Bahwa resource itu tidak akan cukup.
Cara berpikir ini tercermin dalam kepercayaan bahwa semua tidak akan berubah, yang seringkali tertanam di alam bawah sadar kita.
Baca juga: Ini Gaya Kepemimpinan yang Tepat untuk Organisasimu
Kepercayaan tersebut seringkali terekspresikan melalui kalimat, “Ya memang seperti itu keadaannya, tidak mungkin berubah”. Ataupun perilaku menyabotase dan membatasi diri sendiri dengan kalimat, “Aku tidak bisa, punyaku tidak cukup. Aku tidak punya uang. Aku tidak tahu harus apa".
Adapun scarcity mentality kerap kali ditandai dengan beberapa tindakan berikut:
Mengumpulkan semua benda yang bisa dikumpulkan hingga memenuhi rumah hingga sulit menyisihkan barang.
Sulit menerima, baik itu pujian, hadiah, hingga kebaikan. Kerap kali meremehkan pencapaian, baik pencapaian diri sendiri maupun orang lain. Ketika dipuji, orang dengan scarcity mentality cenderung menjawab, "Ah, tidak ah, biasa saja..."
Menunjukkan gestur yang menunjukkan rasa kurang, seperti tidak memberikan tips, mencuri, menipu, menutup-nutupi sesuatu, pelit terhadap ilmu, takut orang lain lebih jago dari dirinya, takut orang lain lebih diuntungkan, mencari jalan pintas, tidak mau mengeluarkan modal untuk mendapatkan ilmu, hingga takut kehabisan saat ada buffet, sehingga membungkus semua menu makanan.
Apakah beberapa hal di atas tampak normal dan cukup sering kamu lakukan? Jika iya, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Pola pikir seringkali merupakan hasil bentukan orangtua, keluarga hingga lingkungan kita.
Terkadang, kita tak menyadari bahwa kepercayaan orang-orang di sekeliling kita dapat mempengaruhi bagaimana kita memandang dunia.
Langkah paling awal yang perlu dilakukan seseorang yang baru mempelajari scarcity mentality, adalah menggali pikiran apa saja yang dimilikinya untuk kemudian menyaksikan pikiran-pikiran itu tanpa penghakiman.