KOMPAS.com - Lontong, opor ayam, sambal goreng ati ampela, lodeh, telur, pindang, bawang goreng, bubuk dokcang, hingga ayam abing dapat kita temui di meja makan saat perayaan Cap Go Meh.
Di negara asalnya, kuliner khas yang disantap dalam perayaan Cap Go Meh banyak yang berbahan dasar ketan, seperti ronde.
Uniknya, peranakan Tionghoa di Indonesia juga menyantap lontong untuk merayakan malam ke-15 penanggalan China tersebut.
Bagaimana lontong bisa menjadi sajian khas Cap Go Meh?
Perayaan Tahun Baru Imlek di Tiongkok merupakan perayaan yang digelar meriah.
Penutupan perayaan ini bahkan dibuat khusus, yang disebut dengan yuan xiao jie. Namun istilah itu tidak akrab di Indonesia.
Baca juga: Asal Usul Bacang dan Kicang, Penganan Khas Tionghoa
Peranakan Tionghoa di Indonesia lebih sering memakai istilah shang yuan jie, kemudian disederhanakan penyebutannya menjadi Cap Go Meh yang diambil dari dialek Hokkian.
Cap Go Meh artinya malam ke-15 atau malam bulan purnama.
Seperti disebutkan sebelumnya, ketan menjadi bahan pangan yang kerap diolah untuk merayakan Cap Go Meh.
Kendati demikian, tidak semua bahan pangan tersebut dapat terpenuhi di negeri perantauan. Jadilah olahan ketan diganti dengan beras, yang kemudian dibuat menjadi lontong.
Teknik pembuatannya diadaptasi dari pembuatan bacang dan kicang yang telah ada selama ribuan tahun. Bedanya, lontong terbuat dari beras, bukan ketan.
Baca juga: Tangyuan, Sajian Khas Imlek yang Jadi Cikal Bakal Wedang Ronde
Dikutip dari buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) oleh Aji Chen Bromokusumo, keberadaan lontong Cap Go Meh sendiri hampir sama tuanya dengan kehadiran imigran Tionghoa di Nusantara.
Lontong hadir sebagai proses akulturasi budaya, di mana masyarakat Tionghoa dapat menyelaraskan bahan pangan yang ada tetapi tetap menjalankan tradisi mereka.