“Setelah menunggu lebih lama, akhirnya saya menjalani pemindaian yang menunjukkan bahwa saya mengalami stroke berat,” katanya.
Rupanya, ia mengalami jenis stroke yang dikenal sebagai trombosis sinus sigmoid dengan pendarahan subarachnoid yang luas.
Alex diberi tahu oleh dokter kemungkinan besar stroke tersebut disebabkan oleh sejumlah hal, seperti penerbangan jarak jauh yang ia lakukan sebulan sebelumnya, steroid yang dikonsumsi untuk kolitis ulserativa, dan pil kontrasepsi.
Baca juga: Bisakah Penderita Tekanan Darah Rendah Terkena Stroke?
Alex kemudian dirawat di rumah sakit selama dua minggu dengan didampingi ibunya yang bernama Karen. Saat tahu menderita stroke berat, Alex merasa sangat frustasi.
“Ketika saya diberitahu bahwa saya menderita stroke, saya tidak menerimanya karena saya merasa sangat tidak sehat. Saya sangat frustrasi. Saya tidak mengerti mengapa saya kesulitan berbicara dengan benar,” ucapnya.
Saat mencoba berbicara, ia mengaku hanya mengeluarkan kata-kata yang acak.
“Saya bisa mendengarkan ibu dan tahu persis apa yang dia katakan, tapi saya tidak bisa berbicara penuh dengannya tidak peduli seberapa keras saya mencoba. Saya terus melontarkan kata-kata acak,” tuturnya.
Baca juga: Apakah Tekanan Darah Rendah Dapat Meningkatkan Risiko Stroke?
Setelah keluar dari rumah sakit, Alex harus bergantung pada keluarga dan teman-temannya. Ibunya setia merawatnya dan menemaninya setiap ada janji dengan dokter.
“Saya menjadi kurang percaya diri, kurang bersosialisasi, dan semakin emosional dan marah. Selama enam bulan, saya hanya dapat berbicara dengan satu orang dalam satu waktu,” ungkap Alex.
“Jika ada lebih dari itu, saya menjadi kesal karena kebisingannya. Saya juga sangat lelah sepanjang waktu,” imbuhnya.
Ia mengaku bahwa harus menjalani terapi dan latihan otak yang menurutnya sangat sulit.
“Saya diajari tugas-tugas sederhana dan saya merasa ingin berteriak, saya bukan anak kecil. Tapi saya perlu belajar kembali banyak hal,” kata dia.
Alex juga masih belum bisa menerima kenyataan tersebut, membuatnya merasa sangat marah dan sedih.
Baca juga: Mengenal Silent Stroke dan Bahayanya, Kondisi di Mana Stroke Terjadi Tanpa Gejala
Empat tahun setelahnya atau tepatnya pada 2018, ibunya, Karen juga menderita stroke.
Saat mengetahui sang ibu juga menderita stroke, Alex sedang berada di rumahnya dan ditelepon oleh saudaranya.
Saat itu, ibunya sudah berada di rumah sakit setelah pada malam sebelumnya melayani sebuah acara.
“Ketika saya melihatnya, saya menyadari dia mempunyai masalah serupa dengan yang saya hadapi. Dia berjuang untuk mengeluarkan kata-kata yang tepat dan merasa kesal dan kalah. Saya pasti bisa memahami apa yang dia rasakan,” ungkapnya.
Karen mengaku stroke tersebut membuat kaki dan lengan kanannya terkulai lemas.