KOMPAS.com - Istilah dinasti politik belakangan ini tengah ramai dibicarakan oleh masyarakat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Istilah tersebut mencuat setelah Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Peluang Wali Kota Solo tersebut sebagai cawapres Prabowo semakin menguat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin adik ipar Jokowi memutuskan perubahan batas usia minimal capres-cawapres di Undang-Undang Pemilu.
Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diputuskan menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Sebelumnya, keikutsertaan Gibran dalam Pemilu 2024 terganjal aturan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun dalam undang-undang tersebut.
Setelah putusan MK, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo akhirnya resmi mengumumkan Gibran sebagai cawapres. Pasangan Prabowo-Gibran rencananya akan mendaftar ke KPU pada Rabu (25/10/2023).
Dipilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo tersebut memunculkan anggapan Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik.
Lantas, apa yang dimaksud dengan dinasti politik?
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan, istilah dinasti politik dan politik dinasti sama-sama bisa digunakan.
Namun, ada perbedaan di antara keduanya.
"Politik dinasti itu lebih mirip dengan monarki, di mana politik ditentukan atau berorientasi untuk kepentingan keluarga tertentu saja," jelasnya kepada Kompas.com, Senin (23/10/2023).
Sementara dinasti politik adalah ikatan keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar, yang menguasai sistem politik di suatu negara.
Keluarga yang menerapkan dinasti politik menguasai kepemimpinan di legislatif (MPR, DPR, dan DPD), eksekutif (presiden, wakil presiden, dan menteri), dan/atau yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial).
"Kalau dinasti politik lebih seperti yang terjadi dalam politik Indonesia," ujar Halili.
Halili menegaskan, dinasti politik tidak hanya berlaku saat seorang politikus sudah menjabat posisi yang sama dengan anggota keluarga lainnya.