KOMPAS.com - Kasus serangan buaya beberapa kali terjadi di Indonesia.
Dilansir dari BBC, data menunjukkan dalam satu dekade terakhir, terjadi sekitar 1.000 serangan buaya di Indonesia yang menewaskan lebih dari 450 orang.
Hal itu menyebabkan Indonesia menjadi negara yang paling banyak mengalami serangan buaya air asin di dunia.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan hampir 90 persen serangan terjadi di Bangka dan Belitung, Indonesia.
Baca juga: Kata Pertamina soal Video Disebut Pekerjanya di Kaltara Lempar Anjing ke Danau Isi Buaya
Lantas, mengapa serangan buaya di Indonesia sulit diatasi?
Baca juga: Saat Penyelamatan Buaya Berkalung Ban di Palu Disoroti Media Asing...
Masih dilansir dari sumber yang sama, berikut beberapa alasan mengapa serangan buaya di Indonesia masih marak terjadi.
Buaya yang hidup di air asin hampir kehilangan habitat aslinya. Mereka berpindah ke lubang-lubang bekas pertambangan yang dekat dengan rumah penduduk.
Di Belitung misalnya, potensi tambang timah yang semakin meluas membuat 60 persen lahannya menjadi tambang timah.
Eksploitasi pertambangan ini meninggalkan ribuan lubang kawah yang kini menjadi habitat para buaya air asin.
Di sisi lain, Indonesia justru mengambil keputusan untuk melegalkan penambangan ilegal.
Pemerintah mengizinkan para penambang untuk bekerja di tambang-tambang ilegal tersebut. Namun sebagai gantinya, mereka harus bertanggung jawab melakukan restorasi habitat.
Baca juga: Temuan 58 Buaya Muara di Penangkaran Ilegal OKI, Segini Gaji yang Diterima Pelaku
Banyak penduduk setempat yang percaya bahwa memindahkan buaya ke lokasi lain merupakan pertanda buruk bagi mereka.
Alhasil, mereka lebih memilih untuk membunuh reptil tersebut dan menguburkannya dalam sebuah ritual.
Kepercayaan ini menyulitkan penyelamat dan konservasi satwa liar yang hendak memindahkan buaya air asin ke penangkaran.
Baca juga: Saat Buaya di India Selamatkan Anjing, Tanda Punya Empati?
Penyelamat dan konservasi satwa liar di pulau Bangka Belitung Alobi, Endi Riadi mengatakan pihaknya tidak pernah mendapat dana langsung dari pemerintah untuk mengelola pusat penyelamatannya.
Sejak didirikan pada 2014, dia hanya mengandalkan dana dari hasil donasi.
Padahal, Riadi mengaku, memelihara buaya air asin membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Sangat mahal untuk memelihara semua buaya di pusat penyelamatan," kata dia, masih dari sumber yang sama.
Sebanyak 34 ekor buaya air asin berhasil diselamatkan Alobi. Dia kemudian bekerja sama dengan para peternak sapi di daerah tersebut untuk mendapatkan makanan yang lebih hemat.
"Sebulan sekali kami bisa mendapatkan satu ekor sapi utuh untuk memberi makan mereka. Jika para peternak memiliki sapi yang mati, kami juga memberikannya kepada mereka," tutur Riadi.
Namun, ia tidak memungkiri bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk terus membawa buaya kembali ke pusat rehabilitasi yang sudah semakin sesak.
Baca juga: 70 Buaya Lepas Saat China Diterjang Banjir, Videonya Viral di Medsos
Dikutip dari Conservation, buaya air asin atau Crocodylus porosus dikenal sebagai buaya muara karena mereka lebih menyukai hidup di sungai yang dipenuhi hutan bakau.
Buaya jenis ini merupakan reptil terbesar yang masih hidup, panjangnya bisa mencapai tujuh meter, jauh lebih besar dari komodo yang terkenal di Indonesia, sementara panjangnya bsia mencapai tiga meter.
Secara historis, buaya hidup di seluruh kepulauan Indonesia. Pada abad ke-20 buaya sebagian besar ditemukan di Jawa dan Bali. Namun, di ibu kota Indonesia, Jakarta, hewan ini juga pernah ditemukan di sungai yang mengalir di tengah kota.
Buaya muara sekarang lebih sering terlihat di pulau Jawa yang padat penduduknya, termasuk di laut lepas Jakarta.
Setidaknya 70 orang tewas karena serangan buaya muara setiap tahunnya di seluruh Indonesia.
Adapun jumlah tertinggi dilaporkan terjadi di kepulauan Bangka-Belitung di Sumatra dan provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Riau.
Baca juga: Ramai soal Buaya Raksasa di Bangka Belitung, Ini Penjelasan LIPI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.