Kakaknya, Sosrokartono merupakan orang cerdas yang ahli di bidang bahasa.
Adapun kakeknya, Pangeran Arion Tjondronegoro IV merupakan bupati muda yang cerdas.
Meskipun terlahir dari keluarga cerdas dan terpandang, Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.
Tradisi Jawa pada masa itu mengharuskan perempuan untuk tetap tinggal di rumah sejak usia 12 tahun hingga menikah.
Baca juga: Kartini, Kesalehan Sosial dan Eksibisi Indonesian Women Artists #3
Meskipun hanya bersekolah hingga ELS (Europe Lagere School), Kartini tetap berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan.
Dia terus belajar, membaca, dan menulis.
Kartini mengabdikan diri untuk mengajar membatik di sekolah kerajinan yang dikelolanya bersama saudaranya, RA Kardinah dan RA Rukmini.
Pada 1896-1903, Kartini mulai menuliskan pemikirannya tentang emansipasi perempuan.
Tulisan itu diterbitkan oleh majalah perempuan di Belanda.
Dia juga rutin berkirim surat dengan sahabat penanya dari Belanda.
Baca juga: Mengapa Dinamakan Kebaya Kartini? Ini Asal Muasalnya
Dikutip dari Kompas.com (21/4/2020), surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku oleh pejabat Belanda.
Buku itu berjudul Door Duisternis tot Lict yang dicetak sebanyak empat kali.
Terjemahannya bahkan diterbitkan dalam Bahasa Perancis pada 1960.
Edisi Inggris pertama kali terbit pada 1920 di New York.
Pada 1922, buku itu diterbitkan dalam bahasa Melayu dalam seri Volkslectuur (Bacaan Rakyat) di Jakarta.
Edisi tersebut memuat pilihan tertentu dari surat-surat Kartini yang ada dalam edisi Belanda di bawah judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
(Sumber: Kompas.com/ Vina Fadhrotul Mukaromah, Puthut Dwi Putranto Nugroho, Nur Fitriatus Shalihah | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary, Dony Aprian, Sari Hardiyanto).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.