Asumsi yang dimentahkan pada saat itu adalah bahwa wartawan daerah tidak memiliki akses pada media digital sebesar wartawan di kota besar. Asumsi ini muncul setelah melihat tidak banyaknya karya jurnalistik dari wartawan daerah yang memanfaatkan teknologi digital dalam penyebarannya.
Dari hasil FGD, ternyata inti permasalahannya bukan itu, karena ternyata dalam perbincangan yang dilakukan, terlihat para jurnalis yang hadir memiliki pengetahuan cukup banyak tentang teknologi digital, terutama dalam hubungannya dengan media sosial.
Ada beberapa faktor pada akhirnya membuat mereka tidak dapat memaksimalkan teknologi yang ada untuk kepentingan media tempat mereka bekerja.
Faktor pertama datang dari khalayak yang tidak terlalu antusias dalam mengakses produk berita dalam format digital selain teks biasa di laman perusahaan media. Bahkan masih banyak di antara khalayak yang lebih suka membaca surat kabar tradisional.
Media digital, terutama media sosial, lebih banyak digunakan untuk tujuan bersosialisasi. Kalaupun ada berita yang dibaca atau dibagikan di media sosial, biasanya hanya berita-berita sensasional yang tidak jelas kebenarannya.
Faktor ini membuat para jurnalis tidak bersemangat untuk mewakili perusahaannya melalui media digital dan media sosial selain di laman resmi, karena nama media mereka jadi ikut terbawa seakan-akan menjadi sumber informasi yang tidak akurat.
Faktor berikutnya adalah kesiapan medianya dalam menyediakan fasilitas multiplatform digital. Dalam hal penugasan, beberapa jurnalis mengaku telah diberi beban untuk melakukan liputan secara multiplatform.
Namun, dari pihak perusahaannya belum menyediakan perangkat lunak dan keras yang memadai untuk itu.
Pada akhirnya, beberapa jurnalis berhasil untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri melalui jaringan profesi yang mereka ikuti, atau dengan terpaksa membeli perangkat lunak bajakan. Ini pula yang mengurangi semangat para jurnalis untuk terjun lebih dalam di dunia digital.
Masalah sumber daya manusia (SDM) juga menjadi faktor lain yang menghambat. Sebagai kontributor atau jurnalis daerah, seringkali mereka harus meliput tanpa tim yang lengkap atau bahkan bekerja solo.
Alhasil, persoalan akurasi dan kedalaman berita, bahkan etika, seringkali harus dikesampingkan.
Mereka mengakui bahwa praktik cloning atau berbagi materi untuk digunakan oleh banyak media memang terjadi. Pasalnya, tidak semua jurnalis memiliki waktu dan kemampuan untuk memproduksi materi multimedia, karena harus meliput peristiwa di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan.
Faktor selanjutnya adalah kompetisi dengan produsen-produsen konten digital di luar profesi wartawan. Saat ini begitu banyak manusia yang begitu dekat dengan teknologi digital dan diberi keleluasaan oleh teknologi untuk dapat memublikasikan karyanya secara instan.
Akibatnya, banyak orang yang membuat produk-produk informasi digital dan disebarkan kepada khalayak melalui media sosial walaupun tanpa didasari pengetahuan jurnalisme yang memadai.
Parahnya, karya-karya mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga dekat dengan tren para pengguna media digital menjadi lebih digandrungi, bahkan diperlakukan selayaknya karya jurnalistik.
Para jurnalis yang sejati sangat bersusah payah untuk mengejar khalayak yang lebih suka mendengarkan podcast, menonton reels di Instagram, atau berinteraksi di Tiktok.
Sekali lagi, fenomena ini yang mungkin turut melemahkan semangat media massa arus utama untuk ikut berkembang di dunia digital.
Kemampuan industri media untuk bergerak di media digital salah satunya dapat diukur dengan sebuah kerangka kerja yang disebut digital maturity atau kedewasaan digital.
Kerangka kerja ini muncul dalam riset yang dilakukan oleh Remotivi tahun 2022, untuk mengindeksasi tingkat pemanfaatan media digital media oleh organisasi nirlaba yang berkerja dalam isu-isu lingkungan. Indeksasi ini meliputi kapasitas produksi digital dan optimalisasi penggunaan media sosial (Putra & Amabel, 2022).
Indeksasi dalam riset tersebut kemudian dikembangkan dalam penelitian penulis tahun 2022 bersama dengan Justito Adiprasetio dan Ika Merdekawati dari Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran dalam upaya pemetaan digitalisasi oleh jurnalis Indonesia.
Pengembangan tersebut mencakup format editorial, aspek-aspek bisnis dan inovasi, kondisi konvergensi, dan pemanfaatan teknologi dalam pengimplementasian jurnalisme digital.
Berdasarkan indeksasi tersebut, hasil FGD di atas menggambarkan bahwa digital maturity jurnalisme di kabupaten tersebut masih rendah.
Hal itu dilihat dari format editorial pemberitaan di media yang masih cenderung mengikuti media tradisional. Aspek bisnis dan inovasi tampak stagnan karena pasar di daerah tersebut belum begitu menerima digitalisasi pemberitaan.