KEHADIRAN teknologi informasi digital telah membawa interaktivitas melampaui batas-batas fisik dalam dunia pers. Kemasan berita dapat disajikan dalam berbagai format interaktif.
Format-format tersebut dulu hanya muncul di berbagai kisah fiktif futuristik, ilmiah, atau bahkan supranatural.
Beberapa hal yang sekarang ada mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjadi nyata. Misalnya, foto yang dapat bergerak ketika membaca berita layaknya di film Harry Potter, menonton siaran berita di setiap dinding rumah termasuk di pintu kulkas seperti di film Total Recall, atau meliput kejadian dengan satu alat kecil yang dapat merekam, memotret, dan menyiarkannya secara langsung seperti di film Star Trek.
Kemudahan-kemudahan yang disediakan teknologi untuk melakukan hal-hal di atas telah memacu kreativitas para produsen berita.
Contohnya, inovasi BBC yang membuat tampilan berita virtual dalam aplikasi Second Life beberapa waktu yang lalu.
Ada pula jurnalis yang menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) untuk melaporkan jalannya konferensi COP26.
Belum lagi penggunaan augmented reality yang sudah semakin lumrah saat ini, di mana dengan pertolongan pemindai pada perangkat telepon pintar, kita dapat memperoleh data tambahan berbentuk tiga dimensi yang muncul di layar ketika kita melihat sebuah objek atau berita.
Kemasan berita kreatif dengan menggunakan teknologi seperti itu tentu memiliki peluang menarik perhatian khalayak yang saat ini mayoritas tidak lagi mengakses media konvensional.
Seperti yang ditemukan dalam riset Nic Newman (2023) kala memprediksi tren jurnalisme, media, dan teknologi tahun 2023, ada kecenderungan semakin banyaknya surat kabar yang akan menghentikan produksi hariannya akibat naiknya biaya pencetakan dan melemahnya distribusi.
Hal itu bisa jadi merupakan akibat semakin sedikitnya khalayak yang mengakses media cetak tradisional dan meningkatnya perentase khalayak yang beralih ke layanan streaming, podcast, bahkan format video di media sosial seperti IGLive dan Tiktok.
Geliat media berinovasi dalam dunia digital dan media sosial dirasakan juga di Indonesia. Dalam level penguasaan teknologi yang berbeda dengan negara-negara maju yang lebih dahulu mendominasi perkembangan teknologi komunikasi, ternyata Indonesia berada di peringkat lima besar pengguna media sosial terbanyak di dunia berdasarkan survei Demandsage (Ruby, 2023).
Hal ini berarti Indonesia merupakan negara yang sangat potensial mendapatkan pengaruh besar dari informasi yang disajikan secara digital terutama di media sosial.
Potensi sekaligus mengancam eksistensi jurnalis tradisional yang harus bersaing dengan para content creator di berbagai platform.
Bisa jadi ini menjadi salah satu faktor mengapa tidak banyak media pemberitaan di Indonesia yang terlibat aktif di media sosial.
Di lain pihak, aktivisme masyarakat Indonesia di media sosial juga membawa kekhawatiran tertentu dalam hal kualitas konten yang bertanggung jawab.
Hasil survei Microsoft tahun 2020 yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling tidak sopan di Asia Tenggara masih tetap menghantui sampai saat ini.
Apakah mungkin faktor inilah yang menyebabkan industri media pemberitaan di Indonesia belum begitu bersemangat untuk melibatkan diri di dunia media sosial?
Apabila ditanyakan kepada pekerja media pemberitaan di kota-kota besar tentang sejauh mana media sosial dimanfaatkan dalam praktik jurnalisme, jawaban yang didapat biasanya senada.
Salah satu jawaban yang umum adalah bahwa media sosial merupakan fenomena yang tidak terhindarkan, maka jurnalis harus terlibat di dalamnya.
Jawaban lainnya adalah bahwa media sosial bermanfaat bagi jurnalis untuk menemukan topik yang sedang hangat dibicarakan oleh publik.
Jawaban yang lebih advance didapatkan saat penulis melakukan riset tahun 2016-2017, yaitu bahwa media sosial juga alat pemasaran bagi media massa konvensional agar dapat meningkatkan engagement dengan khalayaknya, sekaligus mendapatkan khalayak baru dari kelompok publik milenial.
Namun pada praktiknya, apakah prosesnya sesederhana itu?
Sebuah riset yang penulis lakukan akhir tahun 2022 di salah satu kabupaten di Jawa Barat menghasilkan temuan menarik. Riset yang dilakukan dengan cara focus group discussion bersama 16 wartawan lokal dari 15 media ini ternyata mengungkap realitas tentang sejauh mana media sosial dimanfaatkan oleh wartawan daerah yang berbeda dengan asumsi awal penulis ketika itu.