KOMPAS.com - Mantan terpidana kasus korupsi Romahurmuziy atau Romy kembali gabung Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Diketahui, Romy pada 2019 lalu terkena operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag).
Dalam proses persidangannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Romy.
Romy pun sudah menghirup udara bebas sejak April 2020.
Ia kini menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Periode 2020-2025.
Baca juga: Surya Darmadi, Harun Masiku, dan Belasan Koruptor Lain yang Masih Berkeliaran Bebas
Baca juga: Hukuman Mati Koruptor yang Selalu Jadi Wacana
Lantas, bisakah mantan narapidana korupsi terjun kembali ke dunia politik?
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menuturkan, narapidana korupsi tidak bisa mendaftar sebagai calon legeslatif (caleg) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU.XX/2022.
Sementara berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan narapidana tidak bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden.
"Jadi penempatan Romy sesungguhnya tidak terlalu prinsip membesarkan partai, malah merugikan partai," kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (4/1/2023).
Baca juga: 214 Napi Korupsi Terima Remisi, Bagaimana Aturannya?
Dalam putusan MK, disebutkan bahwa mantan narapidana harus menunggu lima tahun untuk bisa mencalonkan diri sebagai caleg, baik tingkat pusat, provinsi, maupun daerah.
Aturan ini berlaku bagi mantan narapidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun ke atas.
Sebagai informasi, putusan MK ini mengabulkan gugatan atas Pasal 240 ayat (1) huruf pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Mantan Napi Korupsi Diperbolehkan Ikut Pilkada, KPK: Kita Harus Tegas
Dalam gugatannya, pemohon menilai pasal tersebut memberikan ruang bagi eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu sebelumnya mengatur syarat menjadi caleg, yakni: