Indonesia adalah archipelagic state (negara kepulauan) dengan jumlah lebih dari 17.000 pulau, 1.100 bahasa daerah, dan 1.331 suku. Luas daratan RI mencapai 1,9 juta km2. Luas wilayah laut Indonesia mencapai 5,9 juta km2 (luas laut yuridiksi nasional), yang terdiri dari 2,9 juta km2 laut Nusantara, 0,3 juta km2 laut teritorial, dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).
Filosofi dasar kesatuan rakyat dan tanah-air dari bangsa Indonesia ialah bineka tunggal ika, yakni keanekaragaman-hayati dalam satu-kesatuan (unity in bio-diversity).
Pesan Prof Soepomo, SH, dari Sidang BUPKI tahun 1945 di Jakarta: “Pembangunan negara bersifat barang bernyawa.” Ini pula filosofi dasar strategi bangsa Indonesia dalam rangka kendali perubahan iklim sejak kini awal abad 21.
International Union for the Conservation of Nature (IUCN) tahun 1994 merilis satu model dasar implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yakni egg of sustainability atau ‘telur sehat-lestari’. Model ini menerapkan filosofi dasar bahwa rakyat berada di dalam suatu ekosistem sebagai komponen dasar yang hayati.
Masing-masing komponen egg of sustainability saling memengaruhi satu sama lain seperti sebutir telur, hanya sehat jika kuning telur dan putih telurnya sehat. Jadi, patokan sehat-lestari suatu negara juga ditentukan oleh sehat lestari rakyat dan ekosistem hayat negara itu. Ini pula simpul dan pilar dasar strategi kendali perubahan iklim kini dan masa datang.
Secara yuridis, seperti pada sebutir telur, lapisan pelindung seluruh tumpah-darah dan segenap bangsa berupa kulit keras luarnya ialah kedaulatan suatu negara. Ini sesuai dengan doktrin kedaulatan negara sejak abad 17 M (Hobbes, 1651; Bodin, 1992) yang juga dianut dan disepakati oleh para pendiri Indonesia dalam rumusan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”
Karena itu, mulai saat ini, jangan lagi ada peraturan, kebijakan, program, atau aliran investasi dan sejenisnya, yang memisahkan rakyat dari Bumi di bawah kakinya. Rakyat dan tanah-air adalah inti negara-bangsa, termasuk negara-bangsa Indonesia selama ini, kini, dan masa datang.
Maka upaya kendali perubahan iklim harus dimulai dari persatuan sehat-lestari antara rakyat, persatuan dari 1.331 suku bangsa kita dengan tanah-air di bawah kakinya. Semua itu sudah ada hukum tidak tertulisnya berupa hak-hak ulayat, tanah-tanah adat suku, yang selama ini memiliki kearifan lokal, bineka tunggal ika, budi-daya tanaman berbiji atau pohon-pohon dan hutan, atau perawatan mata-air dan hutan-hutan adat dari rakyat kita. Kebangkitan alam mengatasi perubahan iklim harus kita mulai dari persatuan sehat- lestari rakyat dan tanah-air.
Mengapa tanah di tiap negara, termasuk unsur alam pokok dalam rangka kendali perubahan iklim?
“Soil gives the world so much: healthy soil is so critically important for climate change mitigation and adaptation, ecosystem restoration, food and nutrition, and security,” ungkap Winowiecki (Sandra Cordon, 7/11/2022).
Tanah sehat sangat penting dan berguna bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pemulihan ekosistem, pasokan pangan dan nutrisi, serta ketahanan pangan. Jadi, kepemilikan lahan, tata-kelola lahan sehat, dan sejenisnya adalah juga patokan kedaulatan pangan tiap negara.
Degradasi lahan kini, tulis Cordon (2022), memengaruhi kehidupan lebih dari 3 miliar penduduk planet Bumi dan menghabiskan biaya sekitar 10,6 triliun dollar AS per tahun.
Kita juga lihat Kyoto Protocol tahun 1997 hingga awal abad 21, menerapkan pertamakali UNFCCC. Kyoto Protocol dilanjutkan oleh Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tahun 2016 (UNFCCC, 2020). Namun, para penanda-tangan UNFCCC selalu dikritik sebab
gagal menurunkan emisi karbon dioksida.
Hingga COP tahun 2022 dari 198 negara di Mesir, belum mencatat kemajuan penerapan UNFCCC. COP selama ini, tulis Stavins, et al. (2014) dan Climate Leaders (2009), memiliki agenda utama ialah badan multilateral tertinggi merumuskan keputusan respons atau kendali perubahan iklim.
Di sisi lain, UNCCC (1992) mengikat negara penanda-tangan untuk selalu melakukan riset, pertemuan regular, negosiasi, dan kesepakatan kebijakan tentang ekosistem guna adaptasi perubahan iklim, menjamin produksi pangan, dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Dalam hal ini, keberhasilan penerapan UNFCCC sangat ditentukan oleh kadar persatuan atau sinergi secara sehat rakyat dengan tanah-air.