Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Rasa

Kompas.com - 06/12/2022, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri

KOMPAS.com - Tentunya, 17 Agustus bukanlah hari biasa. Banyak makna pada hari itu. Ada yang mengaitkannya dengan revolusi, perjuangan, kemerdekaan, dan hari yang perlu diperingati.

Para pemuda berapi-api mendorong Bung Karno dan Bung Hatta agar cepat-cepat memerdekakan Indonesia. Mereka ingin Bung Karno dan Bung Hatta menolak patuh kepada penguasa Jepang. Bahkan, mereka berdua sempat diculik ke Rengasdengklok sebelum memproklamasikan Indonesia.

Akan tetapi, di balik sebuah makna tanggal 17 Agustus 1945 yang melembaga, ada keadaan dan perjuangan yang tak terhitung ragamnya. Hal inilah yang menjadi topik utama dalam rangkuman obrolan Wisnu Nugroho dalam siniar BEGINU bertajuk “Beginu Wrapped Up: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Rasa“ yang dapat diakses melalui tautan berikut dik.si/BeginuWU1.

Akhirnya, di rumah Laksamana Maeda, terjadi penyesuaian antara golongan muda, Bung Karno dan Bung Hatta. Meskipun, penyesuaian itu harus dilalui dengan perasaan cemas, coretan pada naskah di sana-sini, dan semua selesai ketika Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia.

Terlepas dari kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 17 Agustus 1945, ada bahasa yang merupakan elemen penting sebagai instrumen persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Terkadang, bahasa yang kita pakai sehari-hari sulit dimengerti.

Apalagi bila terkait dengan retorika dan bahasa kiasan yang banyak pelambang sekaligus interpretasinya.

Baca juga: Mengenal KH Mustafa Kamil dan Julukan Kiai Jerajak dari Bung Karno

Nyatanya, bahasa kiasan itu yang menggerakkan dan menggelorakan semangat kemerdekaan. Sebut saja, “merdeka atau mati” bila diberikan pengertian kasar akan sulit mengerti. Kata “merdeka” tidaklah satu medan makna dengan kata “mati”, melainkan “dijajah” atau “dikuasai”. Begitu juga dengan kata “mati” yang seharusnya dapat disandingkan dengan “hidup”.

Maka dari itu, secara tidak sadar, yang membaca kalimat “merdeka atau mati” akan mempersepsikan lebih baik mati daripada hidup, tetapi dijajah. Bahasa-bahasa yang sifatnya sastrawi ini seakan-akan hidup, berada di lingkungan kita, dan memantik segala pengalaman yang telah kita lalui.

Itulah mengapa, bukan hanya bahasa, melainkan juga pelambang, simbol-simbol, atau segala sesuatu yang kita lihat dapat menimbulkan beragam perasaan. Akan tetapi, bila suatu bahasa tidak sistematis juga akan bahaya. Karena akan sulit dimengerti, maknanya ke sana-kemari, dan interpretasi akan kabur sesuai dengan penelaahannya.

Bahasa dan Sumpah Pemuda

Tidak sedikit orang di negeri ini yang ingin tampil di atas podium, apalagi bila melihat setiap oligarki dan elit politik. Akan banyak, penuh sesak, berjubel juga jumlahnya.

Semua bahasa dan kalimat yang mereka gunakan sangat memikat dan terperinci menunjukkan setiap kelemahan musuh politik. Apakah salah? Tentu dalam bahasa sendiri pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen penyampaian pesan dari informasi. Dalam hal ini, digunakan sebagai alat praktik politik.

Misalnya, pada peristiwa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan janji-janji para pemuda dan pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Bahasa Indonesia ini menyatukan segala elemen masyarakat yang mungkin dianggap remeh, seperti mulai dari tempat ronda yang isinya orang-orang tua hingga perkumpulan anak muda yang semangat perjuangannya menggebu-gebu.

Dari bahasa Indonesia inilah yang mengonstruksi dan membuka kesadaran masyarakat secara luas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com