Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Tentunya, 17 Agustus bukanlah hari biasa. Banyak makna pada hari itu. Ada yang mengaitkannya dengan revolusi, perjuangan, kemerdekaan, dan hari yang perlu diperingati.
Para pemuda berapi-api mendorong Bung Karno dan Bung Hatta agar cepat-cepat memerdekakan Indonesia. Mereka ingin Bung Karno dan Bung Hatta menolak patuh kepada penguasa Jepang. Bahkan, mereka berdua sempat diculik ke Rengasdengklok sebelum memproklamasikan Indonesia.
Akan tetapi, di balik sebuah makna tanggal 17 Agustus 1945 yang melembaga, ada keadaan dan perjuangan yang tak terhitung ragamnya. Hal inilah yang menjadi topik utama dalam rangkuman obrolan Wisnu Nugroho dalam siniar BEGINU bertajuk “Beginu Wrapped Up: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Rasa“ yang dapat diakses melalui tautan berikut dik.si/BeginuWU1.
Akhirnya, di rumah Laksamana Maeda, terjadi penyesuaian antara golongan muda, Bung Karno dan Bung Hatta. Meskipun, penyesuaian itu harus dilalui dengan perasaan cemas, coretan pada naskah di sana-sini, dan semua selesai ketika Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia.
Terlepas dari kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 17 Agustus 1945, ada bahasa yang merupakan elemen penting sebagai instrumen persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Terkadang, bahasa yang kita pakai sehari-hari sulit dimengerti.
Apalagi bila terkait dengan retorika dan bahasa kiasan yang banyak pelambang sekaligus interpretasinya.
Baca juga: Mengenal KH Mustafa Kamil dan Julukan Kiai Jerajak dari Bung Karno
Nyatanya, bahasa kiasan itu yang menggerakkan dan menggelorakan semangat kemerdekaan. Sebut saja, “merdeka atau mati” bila diberikan pengertian kasar akan sulit mengerti. Kata “merdeka” tidaklah satu medan makna dengan kata “mati”, melainkan “dijajah” atau “dikuasai”. Begitu juga dengan kata “mati” yang seharusnya dapat disandingkan dengan “hidup”.
Maka dari itu, secara tidak sadar, yang membaca kalimat “merdeka atau mati” akan mempersepsikan lebih baik mati daripada hidup, tetapi dijajah. Bahasa-bahasa yang sifatnya sastrawi ini seakan-akan hidup, berada di lingkungan kita, dan memantik segala pengalaman yang telah kita lalui.
Itulah mengapa, bukan hanya bahasa, melainkan juga pelambang, simbol-simbol, atau segala sesuatu yang kita lihat dapat menimbulkan beragam perasaan. Akan tetapi, bila suatu bahasa tidak sistematis juga akan bahaya. Karena akan sulit dimengerti, maknanya ke sana-kemari, dan interpretasi akan kabur sesuai dengan penelaahannya.
Tidak sedikit orang di negeri ini yang ingin tampil di atas podium, apalagi bila melihat setiap oligarki dan elit politik. Akan banyak, penuh sesak, berjubel juga jumlahnya.
Semua bahasa dan kalimat yang mereka gunakan sangat memikat dan terperinci menunjukkan setiap kelemahan musuh politik. Apakah salah? Tentu dalam bahasa sendiri pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen penyampaian pesan dari informasi. Dalam hal ini, digunakan sebagai alat praktik politik.
Misalnya, pada peristiwa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan janji-janji para pemuda dan pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Bahasa Indonesia ini menyatukan segala elemen masyarakat yang mungkin dianggap remeh, seperti mulai dari tempat ronda yang isinya orang-orang tua hingga perkumpulan anak muda yang semangat perjuangannya menggebu-gebu.
Dari bahasa Indonesia inilah yang mengonstruksi dan membuka kesadaran masyarakat secara luas.