Dilansir dari KompasTV, Sri Mulyani mnegatakan bahwa konsep praktik penggabungan kontrak utang seperti kredit rumah, kredit usaha, tagihan kartu kredit, dan sebagainya, lalu piutangnya diperjualbelikan sebagai efek atau sekuritas ini perlu digalakkan.
Tujuannya, untuk menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama melalui sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR).
"Kalau kita namanya efek beragun aset (EBA). Asetnya itu mortgage, bukan rumahnya. Cicilan setiap bulannya itu yang kemudian di-package (dikemas -red) dalam bentuk sekuriti baru, surat berharga baru, yang kemudian bisa dibeli oleh investor," jelasnya
Sebagai contoh, sekuritisasi rumah yang dicicil pemilik dalam waktu 15 tahun menjadi sebuah underlying asset (surat berharga) yang kemudian dijual ke pasar sekunder.
Baca juga: Perang Rusia Ukraina Bisa Pengaruhi APBN dan Picu Inflasi, Benarkah?
Selain menyebabkan suku bunga naik, inflasi tersebut juga mengakibatkan nilai rupiah ke dollar merosot.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sempat menembus Rp 15.000 per dollar AS.
Dikutip dari Kompas.com, Sri Mulyani mengatakan bahwa beberapa indikator ekonomi terutama dari sisi keuangan yakni nilai tukar rupiah, suku bunga, dan inflasi memang masih dalam keadaan dinamis.
Kendati demikian, kondisi Indonesia dinilai masih cukup baik, setidaknya tercermin dari neraca transaksi berjalan.
"Beberapa indikator ekonomi, dalam situasi dunia yang seperti sekarang memang masih sangat akan dinamis. Namun Indonesia dari sisi neraca pembayaran, transaksi berjalannya cukup baik," jelasnya.
(Sumber: Kompas.com/ Nadia Intan Fajarlie, Yohana Artha Uly, Luthfia Ayu Azanella | Editor: Vyara Lestari, Aprillia Ika, Inten Esti Pratiwi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.