Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Menjemput Masa Depan dengan Kepemimpinan Multidimensi

Kompas.com - 01/01/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kecakapan sosial dan digital serta kecerdasan emosi hanya beberapa aspek dari kepemimpinan yang dibutuhkan saat ini. Melihat tantangan-tantangan ke depan, pemimpin perlu untuk memiliki wawasan dan cakrawala lintas bidang yang luas.

Tantangan ke depan

Hingga di akhir tahun, ada banyak dinamika dan perkembangan yang bisa mengubah kebijakan perusahaan dan organisasi setiap saat. Menjelang berakhirnya tahun 2021 dan dimulainya tahun 2022, ada berbagai tantangan yang cukup pelik yang dihadapi pemimpin.

Ada tiga persoalan yang bisa memengaruhi kerja organisasi: manajemen talenta, budaya organisasi, dan kesehatan mental. Pemimpin multidimensi perlu memiliki kejelian dalam melihat akar persoalannya. Selain itu, semangat pemimpin untuk terus belajar lifelong learning mindset menjadi faktor pendukung yang akan membantu pemimpin menemukan benang merah dari setiap persoalan yang dihadapi.

Pandemi menjadi blessing in disguise karena anggota berkesempatan untuk merefleksikan hidup dan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang merasa pekerjaannya membosankan.

Alhasil, fenomena The Great Resignation terjadi. Sebanyak empat juta pekerja di Amerika Serikat (AS) mengundurkan diri dari pekerjaannya pada Juli 2021. Penelitian menyebutkan bahwa kebanyakan pekerja yang mengundurkan diri berada di jenjang mid-career level.

Ian Cook menuliskan tiga faktor yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi di Harvard Business Review. Pertama, adanya resiko yang lebih tinggi memperkerjakan orang yang kurang pengalaman. Ini menyebabkan pekerja memiliki daya tawar yang lebih kuat. Kedua, bagi mid-career level, mereka menunda transisi karir karena ketidakpastiaan yang disebabkan pandemi. Terakhir, pekerja telah mencapai kondisi yang membuat mereka memikirkan ulang pekerjaan dan hidupnya.

Selain persoalan resign, mengurangi gap antara skill yang dibutuhkan dan yang tersedia juga akan jadi persoalan. Berdasarkan Challenger Hiring Report 2019, 80 persen atasan kesulitan mencari kandidat yang tepat dan 70 persen di antaranya melaporkan kekurangan skill yang tepat. Mempertimbangkan pandemi yang semakin terintegrasi dengan digital, talenta dengan kemampuan digital akan semakin dibutuhkan.

Setelah mewawancarai 9.300 pekerja IT, perusahaan EdTech Skillsoft menemukan bahwa 76 persen pemimpin IT memiliki masalah kesenjangan kemampuan di departemen mereka. Meskipun persentase di tahun 2021 menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya, tetapi 36 persen pemimpin bidang IT menganggap skill gap menghambat untuk mencapai tujuan bisnis. Sedangkan 42 persen dari mereka mencapai tujuan kualitas yang ditentukan.

Sebagai tambahan, menurut Business Barometer 2021, di Britania Raya, 63 persen perekrut kesulitan menemukan kandidat yang tepat karena kurangnya pengalaman dan kemampuan spesialis yang dibutuhkan.

Tantangan kedua adalah menciptakan employee experience. Budaya kerja hybrid memang memberikan fleksibilitas dalam bekerja, tetapi membuat pemimpin kesulitan untuk menerapkan employee experience.

Perbedaan tempat dan waktu yang menyebabkannya, di mana ada pekerja yang ke kantor dan ada yang tidak. Ada kesulitan tersendiri untuk membuat pekerja menginternalisasi nilai dan budaya perusahaan. Ketika perusahaan menerapkan kebijakan bekerja dari rumah, ada semacam lost connection antara pekerja.

Setelah satu tahun menerapkan bekerja dari rumah, menurut survei dari OnePoll 2021, tujuh dari 10 pekerja merasa lebih terisolasi. Banyak yang merindukan hal-hal kecil yang biasa dilakukan di dalam kantor, seperti berbincang-bincang, nongkrong setelah bekerja, dan lain sebagainya.

Ruang virtual mungkin bisa menanggulangi soal itu, tetapi dampaknya tidak akan sebesar bertemu tatap muka. Manusia memang pada dasarnya makhluk sosial dan pandemi memaksa kita untuk tidak bertemu dalam waktu yang lama.

Meskipun bekerja dari rumah punya beberapa manfaat, tetap tidak bisa menggantikan keseruan bekerja luring. Belum lagi, ketika bicara ruang virtual, kendala teknologi dan jaringan internet akan mengurangi pengalaman dan hubungan sosial. Belum lagi, tidak semua akan membuka kamera karena alasan kuota ataupun jaringan. Menciptakan employee experience akan menjadi tantangan yang cukup rumit.

Ketiga adalah persoalan kesehatan mental. Penelitian dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa 85 persen dari pekerja merasa kesejahteraannya berkurang. Angka yang sama menunjukkan bahwa pekerja merasa kesepian dan terisolasi. IPSOS dan WEF tahun 2020 lalu juga menemukan hal serupa, di mana 13.000 pekerja di 28 negara mengalami mental disorders.

Persoalan kedua dan ketiga saling terhubung. Kurangnya interaksi membuat kita merasa kesepian. Riset dari Trisnasari & Wicaksono (2021) mengonfirmasi hubungan antara WFH dengan perasaan kesepian para pekerja.

Belum juga masalah stres di dalam pekerjaan. Survei yang dilakukan oleh Blind tahun 2020 mengungkapkan ada 68 persen responden yang mengalami kelelahan mental.

Yang dapat dilakukan

Perkembangan yang telah terjadi selama pandemi membuat tuntutan pekerjaan dan pekerja juga berubah. Perubahan itu normal dan perlu kita pikirkan solusi untuk mengatasinya. Ketiga isu di atas akan menjadi tantangan di tahun 2022 dan membutuhkan pendekatan penyelesaian yang berbeda.

Lebih dari itu, kondisi dunia saat ini membuat kepemimpinan yang bersifat multidimensi menjadi semakin relevan. Pemimpin perlu melihat semua masalah dari sudut pandang helikopter (melihat dari atas) untuk mengidentifikasi solusi yang bisa dirumuskan dan dijalankan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com