Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Menjemput Masa Depan dengan Kepemimpinan Multidimensi

Kompas.com - 01/01/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Persoalan manajemen talenta membutuhkan keselarasan antara permintaan dan pasar. Misalkan, dari sisi perusahaan, menurut penelitian dari perusahaan rekrutmen Hays 2021, pemberi kerja menginginkan kemampuan seperti komunikasi dan interpersonal (55 personal), kemampuan mengadopsi perubahan (53 persen), problem-solving (45 persen), fleksibilitas dan adaptabilitas (43 persen), dan manajemen manusia (41 persen).

Selain lima hal itu, kemampuan digital akan jadi tuntutan. Laporan dari Gartner menunjukkan 33 persen kemampuan yang tercantum di job posting 2018 akan tidak relevan di tahun 2022.

Ada dua opsi yang mungkin bisa dilakukan. Pertama, melakukan reskilling dan upskilling. Upaya ini sedang digaungkan dan diprioritaskan oleh perusahaan. Berdasarkan The LinkedIn Workspace Learning Report 2021, 59 persen profesional di bidang L&D menempatkan reskilling dan upskilling sebagai prioritas teratas. Perlu mempertimbangkan kebutuhan perusahaan agar reskilling dan upskilling dapat tepat sasaran.

Opsi kedua adalah memperkerjakan individu yang memiliki semangat belajar tinggi. Kalau dihubungkan dengan konteks Indonesia, terdapat mismatch antara jurusan dan lapangan pekerjaan.

Menurut Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim, 80 persen lulusan tidak bekerja sesuai prodinya. Mismatch ini yang menjadi salah satu alasan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sehingga, pola pikir pemberi kerja bisa diubah dengan lebih berfokus pada soft skill calon pekerja. Melihat daftar keinginan pemberi kerja di atas yang semuanya soft skill, pergantian pola pikir ini menjadi masuk akal dan bisa diterapkan.

Persoalan kedua menurut penulis agak sulit mengingat belum ada formula yang cocok untuk membentuk employee experience. Selain itu, perusahaan hanya bisa mengubah kultur organisasi.

Oleh karena itu, pembentukan budaya harus maksimal. Ada dua opsi yang mungkin bisa dilakukan para pemimpin di perusahaan. Pertama, pemimpin bisa menerapkan "Hari Wajib Masuk" untuk seluruh anggotanya. Melihat fenomena budaya kerja hybrid dan keinginan menginternalisasikan budaya organisasi, cara ini bisa dilakukan sehingga bisa menguatkan pemahaman tentang budaya kerja organisasi.

Kedua, menerapkan kultur inovatif dan inklusif. Maksudnya adalah dengan memberikan kebebasan untuk berinovasi di dalam pekerjaannya. Selain itu, pemimpin perlu lebih membaur dengan anggotanya.

Dengan begitu, jarak sosial antara pemimpin dan pekerja menjadi berkurang, dalam artian, anggota akan senang memiliki pemimpin yang membaur dan peduli. Hal itu bisa menguatkan ikatan antara leaders dan anggota. Pemimpin perlu mendalami pola komunikasi di dua dunia, ruang nyata dan ruang maya.

Pendekatannya berbeda dengan media yang berbeda. Fenomena hybrid tidak bisa dihindari dan semua jajaran manajerial dapat menguatkan pola komunikasi yang konstruktif.

Tentang kesehatan mental, pemimpin perlu mempertimbangkan beban kerja anggotanya, di mana salah satu faktor pekerja stres adalah beban kerja yang berlebihan. Pemimpin bisa bertanya tentang pekerjaan yang saat ini sedang dijalankan sebelum memberikan beban kerja tambahan kepada anggotanya. Ini bisa membuat hasil kerja lebih optimal karena memiliki beban yang seimbang, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.

Peran departemen sumber daya manusia juga vital untuk mengatasi kesehatan mental. Mereka bisa berperan lebih banyak dalam isu ini. Departemen sumber daya manusia dapat mengadakan sesi konseling berkala untuk mengecek keadaan mental para anggota perusahaan.

Upaya ini berharga karena tersedianya ruang untuk bercerita, terlebih jika pekerjanya mayoritas pemuda semua. Keluhan para anggota bisa menjadi masukan berharga untuk kebijakan perusahaan yang lebih baik.

Tentunya, masih ada solusi-solusi lainnya yang bisa diterapkan. Namun, poin pentingnya adalah bagaimana setiap organisasi dapat menyelesaikan masalah ini dengan tepat. Talenta, budaya kerja, dan kesehatan mental adalah tiga hal fundamental yang perlu diselesaikan oleh pemimpin.

Tahun 2022, pemimpin harus bertransformasi menjadi pemimpin yang multidimensi. Pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, kecakapan berinteraksi di dunia sosial dan digital, serta punya wawasan luas, haus belajar, dan memiliki penglihatan helicopter view. Dunia membutuhkan pemimpin multidimensi. Semangat baru dan terus berproses lebih baik.

Happy New Year 2022!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com