Kementerian ESDM menyebut bahwa DME mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20 persen.
"Kalau Elpiji per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, nanti dengan DME hitungannya akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya-upaya global menekan emisi gas rumah kaca," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ESDM Dadan Kusdiana.
Dadan menambahkan, kualitas nyala api yang dihasilkan DME lebih biru, stabil, tidak menghasilkan partikulat matter (pm) dan NOx, dan tidak mengandung sulfur.
Kendati demikian, batubara yang menjadi bahan utama DME, merupakan bahan bakar fosil yang berasal dari dalam bumi yang tidak dapat diperbarui lagi dalam waktu singkat.
Mengenai klaim green energy, menurut Andy, tergantung bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengelolanya.
"SDA (sumber daya alam) kita kan serba marginal, tidak huge kan? Jadi exploitasi SDA harus lebih bijak dan smart," ucap dia.
Ia menyebutkan, cadangan batubara Indonesia hanya sekitar 38,8 miliar ton, dengan rata-rata produksi 500-600 juta ton per tahun.
"Dari situ kan ketahuan berapa tahun bisa dimanfaatkan, 65-70 tahun lagi," kata Andy.
"Sampai tahun 2050 apakah kebutuhan batubara RI masih tinggi, dengan macam-macam alasannya, alasan export seperti devisa, kebutuhan dalam negeri seperti listrik, DME, dan lain-lain. Kalau masih seperti itu, ya tergantung dari prioritas negara melalui pemerintah terhadap sumber daya alam yang satu ini," jelas dia.
Baca juga: 6 Fakta DME Pengganti Elpiji, Efisiensi hingga Harganya